"kami pekerja, suka membaca"

Selasa, 25 Januari 2011

Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi Dan Spiritual (ESQ)

Penulis: Ary Ginanjar Agustian
Penerbit: Arga
No: SPPT.0047-DP-0409


Membaca buku karya Ary Ginanjar Agustian ini, insya Allah, akan membawa kita menelusuri wawasan baru dalam memahami agama. Sebuah wacana Islam yang memadukan berbagai keilmuan, baik sosialogi, psikologi, management, organisasi, eksakta, ekonomi, enterpreneurship, budaya, filsafat maupun ilmu agama, khususnya yang berkaitan dengan teologi, yang dipadu sedemikian harmonisnya, sehingga mampu membawa pembaca terhanyut dalam “spiritualisme progresif”. Saya katakan progresif, karena ide-ide spiritual yang disodorkan begitu menggugah orang berkreasi dan berinovasi dalam kehidupan di dunia ini dengan menghasilkan karya terbaik untuk mendapatkan kebahagiaan di akherat kelak. Ide-ide spiritual yang dikembangkannya tidak membuat orang menjadi “asyik dengan dirinya sendiri”, bersikap individualistik ataupun sufistik yang menjauhi kehidupan duniawi. 

Penulis membicarakan bagaimana cara membangun suatu prinsip hidup dan karakter, berdasarkan Rukun Iman dan Rukun Islam, sehingga tercipta suatu kecerdasan emosi dan spiritual. Yang disampaikan sangat mudah untuk diingat -karena merupakan suatu kebiasaan sehari-hari- namun dapat membentuk suatu pemahaman, visi, sikap terbuka, integritas, konsisten dan sifat kreatif yang didasari atas kesadaran diri serta sesuai dengan suara hati yang terdalam, yang pada akhirnya akan menjadikan Islam tidak hanya sebatas agama ritual tetapi juga sebagai “the way of life”. (hal. xix). 

Dalam menyusun buku ini, penulis berusaha menuangkan pemikirannya dalam bentuk yang sederhana, disertai dengan visualisasi dan ilustrasi riil seputar kita. Penulis juga mencoba mempergunakan logika dan suara hati secara sungguh-sungguh, yang merupakan sumber referensi utama yang dimiliki setiap manusia, pemberian Allah Swt. Kemudian diperdalam dengan teori-teori kontemporer dan bukti-bukti empiris, sirah Rasulullah SAW serta Al Quraan sebagai referensi utama. Istilah-istilah dalam bahasa Inggris yang dipergunakan dalam buku ini tidak lain bertujuan untuk menjaga keutuhan makna, dan dalam rangka memudahkan sosialisasi ide dalam era global. 

Buku ini banyak mendapat sambutan yang sangat positif di kalangan umat, terutama para tokoh masyarakat dan kaum intelektualnya. Tercatat di sini nama-nama seperti: Adi Sasono (Ketua Umum ICMI), Prof. Ali Yafie (Mantan Ketua Umum MUI), Dr. Muhammad Luthfi (Ketua Program Studi Arab, Fakultas Sastra UI), Ir. Hariyadi B. Sukamdani, MM (Ketua Umum BPP HIPMI), Prof. Dr. Syafii Maarif (Ketua Umum Muhammadiyah) dan yang lainnya berkenan untuk memberi kata pengantar. Tidak ketinggalan pengantar dari Habib Adnan, anggota Dewan Penasehat MUI, yang juga guru dari penulis. Melalui pengantar mereka kita bisa menilai, betapa diperlukannya kajian-kajian yang diangkat di dalamnya. 

Isi buku ini membahas tentang kecerdasan emosi dan spiritual atau yang lebih dikenal sebagai Emotional Spiritual Quotient (ESQ), yang akhir-akhir ini di Barat sedang hangat-hangatnya dibicarakan. Terdiri dari empat bagian, yang mengupas zero mind process (penjernihan emosi), mental building (membangun mental), personal strength (ketangguhan pribadi) dan social strength (ketangguhan sosial). Dilengkapi dengan prolog yang mengupas sekilas kaitan antara Intelligence Quotient (IQ), Emotional Quotient (EQ) dan Spiritual Quotient (SQ), maupun langkah-langkah pembangunan ESQ. 

Dalam memahami konsep ESQ Ary Ginanjar Agustian kita sangat terbantu dengan ESQ Model yang dikembangkannya. Dalam tinjauan psikologi humanistis, model ini membagi alam manusia dalam dimensi fisik dimana terdapat alam sadar, dimensi psikis dimana terdapat alam prasadar dan dimensi spiritual dimana alam tak sadar yang terdapat di dalamnya God Spot (Titik Tuhan) berada. Dimensi fisik dan psikis beredar mengorbit mengelilingi God Spot menyerupai gerakan jamaah haji mengelilingi Ka’bah, konsep ini disebutnya God Sentris. 

Menurut Ary Ginanjar Agustian, God Spot adalah suara hati manusia yang diberikan Tuhan, yang meneladani nama-nama-Nya yang agung (Asmaul Husna), yang disebutnya 99 thinking hats. God Spot ada pada setiap manusia karena merupakan fithrah yang diberikan kepadanya. Hal ini dapat ditengarai dengan adanya ‘anggukan universal’, yaitu suara hati kebenaran (nurani) yang muncul ketika kita berhadapan dalam suatu peristiwa. 

Suara hati ini tertutup (ter-hijab) dengan adanya prasangka negatif, pengaruh prinsip hidup, pengalaman, kepentingan dan prioritas, sudut pandang, pembanding dan literatur. Karena itu untuk memunculkan kembali God Spot harus melakukan penjernihan emosi yang disebut sebagai zero mind process. Hasil akhir zero mind process adalah seseorang yang telah terbebas dari belenggu prasangka-prasangka negatif, prinsip-prinsip hidup yang menyesatkan, pengalaman yang mempengaruhi pikiran, egoisme kepentingan dan prioritas, pembanding-pembanding yang subyektif, dan terbebas dari pengaruh-pengaruh belenggu literatur-literatur yang menyesatkan. Ia adalah orang yang merdeka. (hal. 58). 

Setelah menjadi orang yang merdeka, dilanjutkan dengan mental building (membangun mental) dengan mengikuti prinsip-prinsip 6 Rukun Iman, yang diterjemahkan secara kontekstual sebagai star principle (prinsip bintang), angel principle (prinsip malaikat), leadership principle (prinsip kepemimpinan), learning principle (prinsip pembelajaran), vision principle (prinsip masa depan) dan well organized principle (prinsip keteraturan). Prinsip-prinsip ini dibahas penulis dengan mengacu kepada pemahaman tentang keimanan akan Allah, Malaikat, Nabi dan Rasul, Kitab Al Quraan, Hari Kemudian dan Ketentuan Allah. (hal. 170). Hasil dari mental buliding adalah pribadi yang memiliki prinsip hidup yang kokoh dan mulia, kepercayaan yang teguh, jiwa kepemimpinan yang agung, jiwa pembelajaran yang tidak kenal henti, selalu berorientasi masa depan dan memiliki management yang teratur, disiplin, sitimatis dan integratif. (hal. 174). 

Mental yang telah terbangun, selanjutnya diperkokoh dengan personal strength (ketangguhan pribadi) melalui mission statement (penetapan misi) yang berorientasi pada syahadah, character building (pembangunan karakter) yang mengeksplorasi shalat dan self control (pengendalian diri) melalui puasa. Langkah selanjutnya adalah memperkuat Social strength (ketangguhan sosial) dengan mengaplikasikan strategic collaboration (kolaborasi strategis) melalui zakat dan total action (aplikasi total) melalui ibadah haji. 

Selain penjelasan argumentatif konsep-konsep ESQ berdasarkan 6 Rukun Iman dan 5 Rukun Islam, Ary Ginanjar Agustian juga memberikan resep-resep pelatihan ESQ, baik untuk zero mind process, mental building, personal strength maupun social strength. Bahkan dilengkapi dengan cara-cara mengukur suara hati-nilai keyakinan maupun aplikasi dan realisasinya yang mengacu pada 99 thinking hats atau pemahaman Asmaul Husna. Kita bisa melatihnya dan mengukurnya secara sendiri-sendiri maupun dengan bantuan instruktur. Untuk meningkatkan efektifitas pelatihan ini perlu didukung oleh instruktur yang ahli dan berkompeten. Karena itu tidaklah mengherangan bila penulis melengkapi konsep ESQ-nya ini dengan lembaga pelatihan ESQ Leadership Center (ELC). 

Dengan hadirnya wacana ini, penulis mengh.arapkan akan muncul kembali suatu rasa ‘kebanggaan’ (mungkin lebih tepat ‘kebahagiaan’, peresensi) dan ‘kesadaran’ bahwa Islam sebenarnya adalah sebuah tuntunan keberhasilan yang sempurna. Serta kelak akan tercipta sebuah ‘bangunan’ karakter manusia handal (khoiru ummah) sebagai sumber daya yang penting bagi kemajuan dan kemakmuran bumi. 

Secara umum, buku ini sangat menarik, berbobot isinya dan kita perlukan. Terutama untuk memahami nilai-nilai Islam dalam kaitannya dengan kemajuan ilmu pengetahuan terkini. Buku ini layak kita baca, terutama bagi para Ustadz, da’i, mubaligh dan guru yang memberi penyuluhan kepada masyarakat, para aktivis organisasi, para businessman (pengusaha) dan kaum muslimin pada umumnya, baik remaja maupun dewasa, yang berkeinginan meningkatkan kecerdasan emosi dan spiritualitasnya tanpa terjebak dalam sikap individualistik. 

Hanya saja perlu dicatat, sebagaimana karya-karya lainnya yang mencoba memahami Islam dengan penafsiran-penafsiran bebas atau secara kontekstual, kita perlu ‘mencerna’ lebih hati-hati gagasan-gagasan yang ada di dalamnya, bilamana perlu melakukan komparasi dengan kajian-kajian sejenis atau se-tema lainnya. Juga, sebagaimana pelatihan-pelatihan yang lain, kesadaran emosi dan spiritual ini perlu ditindaklanjuti dengan pendalaman Islam lebih lanjut. Tidak hanya berhenti pada “kesadaran pelatihan” saja akibat permainan emosi dalam interaksi forum pelatihan. Tindak lanjut tersebut harus mengantarkan para alumni pelatihan ESQ untuk turut serta dalam upaya pembelaan dan perjuangan da’wah islamiyah. 

Wallahu a’lam bishshawab. 

Sumber:
http://www.immasjid.com/cetak.php?id=200

Tidak ada komentar:

Posting Komentar