"kami pekerja, suka membaca"

Jumat, 06 Desember 2013

Hoegeng Polisi Dan Menteri Teladan

Pengarang : Suhartono
Penerbit : Kompas
No : SPPT.0339-DP-1213
 
Jurnas.com | Buku berjudul Hoegeng ‘Polisi dan Menteri Teladan’ yang ditulis Wartawan Kompas, Suhartono diluncurkan Minggu (17/11/2013) siang di Gramedia, Pondok Indal Mall, Jakarta Selatan.

Sejumlah tokoh hadir dalam peluncuran buku ini. Antara lain, Kapolri Jenderal Sutarman, Ketua KPK Abraham Samad dan Mantan Wakil Presiden, Jusuf Kalla.

Kapolri mengatakan, Jenderal (Purn) Hoegeng Imam Santoso seorang polisi yang sederhana, jujur dan bersih. "Beliau orang yang bersih dari berbagai penyimpangan. Beliau orang yang sangat jujur. Berani mengatakan tidak, berani mengatakan iya. Dia juga orang yang sangat sederhana," kata Sutarman.

Sementara Jusuf Kalla mengatakan Hoegeng merupakan sosok pemimpin yang tegas, sederhana dan jujur. Dia mengharapkan di dalam polisi saat ini melekat karakter yang dimiliki Hoegeng . "Polisi harus jujur,” kata Kalla.

Dia juga mengimbau para pemimpin saat ini meneladani sikap Hoegeng yang jujur dan tegas. 

Dalam peluncuran buku turut hadir istri almarhum Hoegeng, Meriyati Roeslani. Meriyati mengatakan, suaminya adalah sosok yang gigih bekerja dan giat memberantas korupsi di peralihan masa Orde Lama ke Orde Baru. Hoegeng kata Meriyani akhirnya kehilangan jabatannya karena sikapnya. “Waktu itu dia (Hoegeng) datang kepada ibunya dan mengatakan sudah kehilangan pekerjaaan. Ibunya memegang tangan Hoegeng, dan mengatakan kalau kamu masih bisa melangkah, kami bisa makan nasi dan garam,” kata Meriyati.

Kamis, 05 Desember 2013

Indonesia X Files

Pengarang :  Dr Abdul Mun'in Idries SP,F
Penerbit : Mizan
No : SPPT.0338-DP-1213
 
Buku  Indonesia X-Files karya pakar forensik Indonesia, dr Abdul Mu'nim Idries, Sp.F yang belum lama terbit ini ini tampaknya langsung menarik perhatian publik. Buku yang untuk pertama kalinya dicetak sebanyak 3000 eks laris manis diburu pembaca dan hanya dalam waktu 10 hari saja penerbit memutuskan untuk mencetak ulang sebanyak sebanyak 4000 eks. 

Apa yang membuat buku ini banyak diincar orang?,  judul yang menarik dan nama besar besar penulisnya, dr. Abdul Mun'im Idries yang dikenal sebagai dokter forensik eksentrik yang suka bicara blak-blakan tentunya akan membuat orang menduga bahwa dalam buku inipun dr. Mun'im akan menulis blak-blakan tentang kasus-kasus pembunuhan yang pernah ditanganinya

Seperti yang diduga orang buku ini memang membeberkan fakta-fakta mengejutkan dibalik kasus-kasus pembunuhan misterius di Indonesia yang mungkin selama ini tidak diketahui publik umum seperti kasus kematian Bung Karno, Marsinah, Munir,  Nasrudin, Tragedi Trisakti, Tanjung Priok, dll. Walau tidak semua kasus itu merupakan kasus yang secara langsung ditanganinya secara forensik namun penulis tetap memberi pendapatnya sesuai dengan ilmu yang ia pelajari

Dalam kematian Bung Karno dr. Mu'nim menyetujui pendapat  sebagian orang yang menyimpulkan bahwa Bung Karno dibiarkan meninggal dunia secara pelan-pelan karena selain dalam keadan sakit Sang Proklamator itu terkurung di Wisma Yaso dalam keadaan stress dan depresi.

"Dapat disimpulkan bahwa tindakan pengucilan, perlakuan yang tidak manusiawi serta masalah atensi dan esksistensi serta kondisi kesehatan yang buruk dapat merupakan kondisi yang memungkinkan tewasnya tokoh nasionalis yang tidak perlu diragukan lagi kualitasnya" (hlm 44)

Jika Bung Karno dibiarkan meninggal perlahan-lahan dalam keadaan terkurung, sakit dan depresi,  lain lagi halnya dengan Marsinah, aktivis buruh  yang nyawanya sengaja dihilangkan dengan cepat pada September 1993. Di buku  ini penulis mengungkap kejanggalan visum et repertum (VR) yang dibuat pembuat oleh dokter yang melakukan VR terhadap jenazah Marsinah,
"..korban meninggal dunia akibat pendarahan dalam rongga perut. Padahal menurut penulis, kejelasan yang seharusnya diutarakan pembuat VR adalah penyebab kematian (tusukan, tembakan, cekikan) bukan mekanisme kematian (pendarahan, mati lemas). Karena mekanisme kematiannya pendarahan, itu tidak bisa memberi petunjuk perihal alat atau benda yang menyebabkan korban, yaitu Marsinah tewas." (hlm 28)

Selain itu penulis juga menyanggah penyebab kematian Marinah karena kemaluannya ditusuk oleh balok karena ternyata ternyata barang bukti yang dipakai untuk menusuk kemaluan korban ternyata lebih besar dari ukuran luka yang terdapat dalam tubuh korban. Demkian juga karena kerusakan yang begitu hebat atas kemaluan korban hingga ke tulang kemaluan korban patah berkeping-keping maka penulis menyimpulkan pendapatnya bahwa luka di kemaluan korban bukan karena benda melainkan akibat luka tembak. 
"Ketika Trimoelja meminta pendapat tentang kekerasan yang bagaimana yang dapat menimbulkan kerusakan demikian hebat,....... saya sebagai saksi ahli berpendapat : akibat luka tembak" (hlm 31)

Seperti halnya dalam kasus Marsinah dimana penulis mengungkap pendapatnya tentang cara kematian korban, dalam kasus Munir dimana ia diberi tugas untuk menanganinya, dr Mu'nim dengan gamblang menyangkal  laporan yang menyatakan bahwa kematian Munir akibat keracunan arsenik yang dimasukkan dalam jus yang diminumnya di dalam pesawat. 
"Menurut saya, hal itu sangat tidak mungkin. Sebab arsenik itu mudah larut di air panas (hangat) bukan air dingin. Tetapi tim yang berangkat membuat skenario  sendiri bahwa arsenik itu dimasukkan ke minuman jus. Itu kan dingin, arsenik akan mengendap, kelihatan. Jadi kalau ingin larut harus di air panas atau hangat. Itu yang dipakai" (hlm87)

Dari kenyataan itu penulis menarik kesimpulan bahwa arsenik tersebut dimasukkan dalam kopi atau teh yang diminum Munir di Coffe Bean saat pesawat transit di Singapura

Dalam membahas kasus Munir ini penulis membeberkan fakta-fakta dan pendapatnya secara detail sehingga dibutuhkan 14 halaman untuk menuliskannya, lebih panjang dari kasus-kasus lain yang dibahasanya. Dalam kasus ini penulis juga mempertanyakan keseriusan pemerintah untuk membongkar kematian Munir  dimana pertemuan perama dari  tim yang dibentuk Presiden SBY untuk mengungkap kasus ini dipimpin oleh Wakil direktur Tipikor (Tindak Pidana Korupsi) yang tidak 'nyambung' dengan kasus pembunuhan.  Selain itu penulis juga mengungkapkan kejanggalan penugasan Pollycarpus (pilot Garuda) yang satu pesawat dengan Munir.

Masih banyak hal menarik yang terungkap dalam buku ini. Khusus dalam pengungkapan  kasus-kasus kontroversial  penulis membeberkan dengan gamblang berdasarkan fakta forensik yang ditemuinya. Walau demikian buku ini  tidak berpotensi menimbulkan kemarahan dari pribadi atau lembaga yang namanya tertulis karena semua  nama dan lembaga yang disebut dalam buku ini ditulis  berdasarkan apa yang telah terungkap di pengadilan. Dalam buku ini penulis hanya mengungkap fakta selebihnya penulis memberi kesempatan  pada pembaca untuk menafsirkan sendiri apa yang tersembunyi dibalik fakta-fakta tersebut. 

Tidak hanya menyangkut pembeberan fakta-fakta kasus-kasus kejahatan yang fenomenal yang terdapat di bab pertama, di bab dua penulis  menyuguhkan berbagai hal mengenai dunia forensik seperti bagaimana bedah mayat baik karena pembunuhan maupun kecelakaan, cairan sperma pada tubuh korban perkosaan, dll dapat mengungkap berbagai kasus kejahatan. Selain itu kejahatan narkoba dan kejahatan seksual dan kekerasan terhadap anak juga mendapat bahasan khusus di bab ketiga dan keempat.

Di bab lima dibahas bagaimana peran kedokteran forensik sebagai 'pisau ilmiah'  bagi penegakan hukum dan keadilan. Lalu dijelaskan pula bagaima masyarakat berhak tahu terhadap hasil visum, kapan seorang dinyatakan meninggal dunia, dan bagaimana cara identifikasi massal terhadap korban kerusuhan dan kebakaran. Dan pada bagian terakhir, buku ini menyuguhkan salinan berita- kasus pembunuhan, amukan masa, dan kematian tokoh dari berbagai media massa sebagai pelengkap dari apa yang sudah disajikan di bagian kesatu hingga kelima.

Setelah membaca seluruh tulisan dokter Mu'nim dalam buku ini saya rasa isi buku ini lebih luas dari judulnya. Karena yang benar-benar dikategorikan 'x-file'  hanya ada di bab pertama saja.  sementara kelima bab lainnya lebih merupakan pengungkapan dunia forensik yang tidak kalah menariknya dengan bab pertama.

Yang agak disayangkan pada buku ini adalah tidak adanya pengungkapan atau catatan penulis atas kasus-kasus yang lebih mutakhir dan berskala besar seperti identifiasi korban bom bali I &  II,  jatuhnya pesawat Sukhoi di Gunung Salak Bogor yang tentunya keduanya merupakan kerja 'besar' bagi kedokteran forensik dalam mengidentifikasi korban yang sudah tidak utuh lagi,  atau bagaimana cara kerja kedokteran forensik dalam memastikan identitas para teroris yang tertembak mati dalam operasi Densus 88. 

Terlepas dari itu buku ini secara keseluruhan tetap menarik dan menambah wawasan pembacanya. Mencermati berbagai kasus kejahatan yang dibahas secara forensik dalam buku ini kita akan melihat bagaimana dunia kriminalitas, hak asasi manusia, dan kualitas penegakan hukum yang terjadi di Indonesia. 

Selain itu bagi mereka yang ingin mengenal lebih banyak tentang dunia dan dinamika dunia forensik, buku ini bisa menjadi rujukan. Walau penulisnya seorang dokter namun jauh dari kesan tulisan ilmiah karena ditulis dengan bahasa yang lugas dan sederhana sehingga dengan membaca buku ini ilmu kedokteran forensik menjadi makin mudah dimengerti bagi pembaca awam.

Ensiklopedia(Peristiwa-Peristiwa Penting Paling Heboh abat 20)

Pengarang : Taufik Adi Susilo
Penerbit : Trans Idea
No : SPPT.0337-DP-1213

Rabu, 04 Desember 2013

Dunia Forensik Itu Lucu

Pengarang : Dr Abdul Mun'im Idries Sp,F
Penerbit : Mizan
No : SPPT.0336-DP-1213
 

Sinopsis buku Dunia Forensik itu Lucu: Sebuah Rekam Jejak dr. Abdul Mun'im Idries, Sp.F:

Dia dokter yang disebut banyak orang sebagai pribadi nyentrik, sebab gemar melakukan hal di luar kebiasaan adat kebanyakan masyarakat Indonesia itu. Padahal, sebetulnya dia sedang berusaha mengungkapkan kebenaran.
Dia Abdul Mun'im Idries.
Dia, dengan percaya diri, berbekal penalaran logis bebas emosi, membolak-balik logika pemahaman kebanyakan kita terhadap fakta-fakta hukum, politik, dan sosial yang selama ini tampak berjalan wajar di Indonesia.
Dia memang bukan birokrat, politisi, atau aparat penegak hukum. Tapi, sebagai ahli forensik yang telah 40 tahun melakoni profesinya, dia memiliki peran vital dalam banyak permufakatan untuk pembentukan fakta yang ingin disuguhkan pada khalayak, sejak rezim Orde Baru, masa-masa transisi, hingga Pasca-Reformasi sekarang ini. 
Dari sederet pengalamannya, dia sampai pada kesimpulan; bahwa  dunia forensik itu lucu. Jadi lucu, sebab, dari sudut pandangnya, terlalu banyak hal konyol dalam proses upaya tipu-tipu masif yang langgeng berlangsung di negeri ini.         

Endorsement buku Dunia Forensik itu Lucu: Sebuah Rekam Jejak dr. Abdul Mun'im Idries, Sp.F:

"Banyak kisah dr. Mun'im yang unik selama kita mau pasang kuping dan mengambilnya sebagai suatu pelajaran ataupun untuk brain refresh." -Syarif Hidayatullah Nasution, Musisi Jalanan, Kawan Dekat dr. Abdul Mun'im Idries
"Banyak kasus dan cerita di balik kasus yang ia bagikan ke saya. Uniknya, dr. Mun'im hampir selalu seperti mendongeng .... Bagi saya, itulah cerminan sukma hidup dr. Mun'im. Hangat. Kontras dengan ruang kerjanya yang dingin." -Reza Indragiri Amriel, Akademisi Psikologi Forensik

Selasa, 03 Desember 2013

KPK Tak Lekang

Pengarang : Seri Buku Tempo
Penerbit : Kpg
No : SPPT.0335-DP-1213

Descriptions

Sejak dibentuk pada 2003, KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) sudah mengirim ratusan koruptor ke bui: bupati, walikota, gubernur, anggota DPR, duta besar, pejabat kepolisian, pun besan presiden. Tercatat lebih dari 500 kasus pernah diselidiki; Rp153 triliun uang negara diselamatkan.

KPK menjelma momok di mata para pelaku rasuah dan pendukungnya. Komisi ini terus-menerus coba dilemahkan. Telah 17 kali UU KPK digugat di Mahkamah Konstitusi. Dua pemimpin KPK—Bibit Samad Rianto dan Chandra M. Hamzah—dituding menerima suap. Penyidik senior Novel Baswedan dikriminalisasi. Serangan dari segala arah tak pernah henti: mulai dengan menabrak lari penyidik, menyewa dukun santet, hingga menggencarkan perang wacana—entah mengatakan tebang pilih, terpengaruh konstelasi politik, bahkan menilai para pemimpin KPK banci kamera.

KPK bukan lembaga tanpa cela, tapi ikhtiar memberantas korupsi memang mengundang musuh-musuh tersendiri. Buku ini merekam satu dekade bagaimana KPK tak lekang betapa pun keras ia dihantam.

Keterangan Seri Penegak Hukum

Kisah KPK merupakan jilid kedua seri “Penegak Hukum”, yang diangkat dari liputan khusus Majalah Berita Mingguan Tempo, awal Januari 2013. Menyorot sepak terjang para pendekar hukum, serial ini ingin menunjukkan bahwa di tengah sengkarut zaman kita tak selalu kehilangan harapan.

Senin, 02 Desember 2013

Indonesia Amnesia

Pengarang : Baltyra Com
Penerbit : Bahari Press
No : SPPT.0334-DP-1113
 
Apakah Indonesia Negeri yang Kita Idamkan? Apa yang kita idamkan dengan Indonesia? Suatu Negara sebagaimana didengung-dengungkan dalam Pelajaran sejak SD. Negeri nan subur ? Orangnya ramah rajin dan jujur? Alamnya indah bagai potongan surga yang tertinggal dibumi? Atau negeri tanpa gejolak dan hura-hura seperti dalam pelajaran moral Pancasila dibangku sekolah dulu?
Indonesai sebuah tempat bagi orang yang punya harapan indah. Sebuah imajinasi untuk orang yang membangkakanya tetapi tak kunjung datang impian itu. Kita orang indonesia mengaku kaya alam tetapi miskin.Makmur kenyataanya banyak melarat. Ramah Namun sering beringas. Jujur sebaliknya gemar berbohong dan Korupsi.
Kenyataan itu tentu bukan sekedar takdir atau keputusasaan. Ada harapan yang tersembunyi dibelantara masalah yang hadir dan selalu kita hirup setiap saat. Setidaknya dalam buku ini bisa ditemukan deskripsi tentang potensi kemampuan kita keluar dari masalah-masalah yang rumit . Mereka yang mampu menunjukan potensi itu sangat percaya bahwa persoalan yang muncul adalah ciptaan kita sendiri. Tentunya, bila kita bisa membuat masalah itu, lebih mudah juga untuk membangunnya.

Relasi Kuasa Ideologi & Oligarki

Pengarang : Fajllurahman Jurdi
Penerbit : Rangkang
No : SPPT.0333-DP-1113

Jumat, 29 November 2013

Misteri Supersemar

Pengarang : A Yusrianto
Penerbit ; Palapa
No ; SPPT.0332-DP-1113
SINOPSIS BUKU - Misteri Supersemar
Tonggak Orde Baru dimulai ketika Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) ditandatangani oleh Presiden Soekarno di Istana Bogor. Supersemar berisi perintah yang menginstruksikan Soeharto selaku Pangkopkamtib "mengambil segala tindakan yang dianggap perlu", karena memang situasi keamananbertambah kacau saat itu.

Dalam perjalanannya, "surat sakti"tersebut dijadikan legitimasi oleh Soeharto, sehingga memicu kontroversi tentang batas-batas kewenangannya. Seperti, Soeharto tidak melapor kepada presiden terkait situasi-situasi yang terjadi, membubarkan PKI, serta menangkap sejumlah menteri.

Apakah tindakan tersebut "melanggar" Supersemar? Benarkah Supersemar itu hanya "surat instruksi biasa", bukan "surat penyerahan kekuasaan" oleh Soekarno kepada Soeharto? Benarkah dengan Supersemar tersebut, Soeharto telah melakukan "kudeta merangkak" untuk merebut kekuasaan dari tangan Soekarno?

Sejak rezim Orde Baru tumbang tahun 1998, kontroversi Supersemar terus membeludak. Dan, yang paling menyita perhatian adalah soal keberadaan Supersemar itu sendiri. Supersemar yang asli, konon, masih tersimpan rapi. Di manakah itu? Mengapa disembunyikan? Dan, untuk kepentingan politis apa hal itu dilakukan?

Buku ini berusaha menguak "wajah misterius" Supersemar, dengan meruntut catatan-catatan kelam sejarahnya. Pertanyaan dasarnya ialah "Apakah Supersemar telah disalahgunakan dan di manakah ia berada kini?"

Kamis, 28 November 2013

Jalan Keluar (Logis,Spontan,Jenaka)

Pengarang : Kompas
Penerbit : Kompas
No : SPPT.0331-DP-1113
Synopsis
Berbagai persoalan masih terus membelit negeri ini.Lemahnya penegakan hukum,kemacetan lalulintas di luar negeri,hingga sampai politik uang dalam pilkada,datang silih berganti,bahkan sering kali tumpang tindih satu sama lain.
Ketika menjadi wakil presidan tahun (2004-2009)Jusuf Kalla sering disebut sebagai "The real president" karna kecepatannya membaca situasi dan membuat keputusan,serta ketepatannya dalam bertindak.
Bagaimana Jusuf Kalla (JK) kini memandang persoalan-persoalan yang dihadapi bangsa. ia juga menawarkan jalan keluar dan optimisme yang berakar pada keyakinan bahwa setiap masalah pasti ada solusinya.
Lewat acara Talkshow "Jalan keluar (JK)" Dikompas TV Jusuf Kalla menunjukan kembali kepiawayannya dalam seni problem solving,yang dilakukan dengan pendekatan dialog yang memperhatikan keadilan bagi semua pihak.

Rabu, 27 November 2013

Republik Akal-Akalan (Mengungkap kebohongan rezim diatas ketidakberdayaan rakyat

Pengarang : Dr Fuat Bawazier
Penerbit : Rm Books
No : SPPT.0330-DP-1113
Buku ‘Republik Akal-Akalan’ merupakan kumpulan artikel opini dari Fuad Bawazier yang pernah terbit di berbagai media sepanjang tahun 2006-2013. Judul ‘Republik Akal-Akalan’ itu tentu saja menggambarkan bagaimana pengelolaan negeri ini yang masih saja menggunakan kebijakan bersifat akal-akalan. Untuk memudahkan sidang pembaca memahami aneka pemikiran dari Mantan Dirjen Pajak ini, maka esai-esai tersebut dikelompokkan berdasarkan sub tema yang sama, sekaligus memiliki benang merah yang nyata.
Menerbitkan berbagai artikel yang berserak menjadi sebuah buku yang layak dibaca tentunya memiliki alasan yang kuat. Setidaknya terdapat dua alasan penting yang melatari. Pertama, setelah ditelusuri, berbagai tulisan tersebut, mengandung benang merah yang kuat sepanjang periode itu, terutama dalam menggambarkan pengelolaan negara oleh penguasa yang cenderung menipu rakyat melalui berbagai kebijakan akal-akalan. Kedua, banyak tulisan yang jika dibaca lagi ternyata masih menemukan relevansinya kembali dalam perkembangan aktual dewasa ini, terutama terkait dengan masih maraknya tindakan akal-akalan penguasa di tengah rakyat yang seakan tidak berdaya.
Analisa ekonomi politik menjadi warna utama dari sosok yang pernah menjabat sebagai Menteri Keuangan di saat-saat genting Orde Baru ini. Gaya bahasanya yang blak-blakan, apa adanya, serta dibingkai dengan nuansa akademik menjadikan esai dari Fuad Bawazier layak menjadi hidangan intelektual bagi sidang pembaca.
Simaklah potongan fragmen ketika Fuad yang ketika itu menjabat sebagai Menteri Keuangan berada dalam sengkarut krisis ekonomi yang melanda negeri (Fuad Bawazier, Republik Akal-Akalan, hlm. 213-214):
Dalam penyelesaian krisis, Mafia Berkeley dan IMF cuma memiliki waktu hingga Juni 1998. Itu adalah tenggat diam-diam yang diberikan Soeharto, kendati dirinya juga tidak yakin masalah ekonomi akan selesai pada tenggat tersebut. Sebagai new comer waktu itu, saya juga berpandangan dan menjelaskan hal yang sama kepada Soeharto. Masalah krisis tidak mungkin diselesaikan IMF dalam waktu singkat. Kenapa? Pertama, resep yang dijalankan IMF umumnya justru memperparah kondisi yang ada. Kedua, sekali IMF datang ke suatu negara khususnya Indonesia, kalau tidak dipaksa keluar, mereka tidak akan meninggalkan Indonesia. Mereka akan terus “memperkosa” kita. Seperti praktik dukun cabul, datang tidak mengobati, tapi malah ngerjain kita. Betul juga ternyata Soeharto dijatuhkan lebih cepat. Mei 1998, Soeharto jatuh. Padahal menurut rencana, IMF akan dibubarkan Soeharto seperti halnya dia membubarkan International Government on Group Indonesia (IGGI). Sejatinya, pemikiran Soeharto ada benarnya. Krisis tidak bakal selesai pada tenggat yang ditentukannya. Akhir Juni 1998, IMF tidak akan bisa menyelesaikan masalah di Indonesia. Artinya, pada titik ini, sebetulnya, Soeharto sudah memberi kesempatan IMF selama enam bulan sejak awal 1998. Ternyata, IMF memang tak dapat menyelesaikannya dan dengan alasan ini rencananya Soeharto akan melengserkan IMF.
Buku ‘Republik Akal-Akalan’ ini secara garis besar memotret dan mengupas tentang bagaimana kebijakan yang dijalankan oleh pemerintah. Mulai dari dunia perbankan yang penuh dengan kebijakan kamuflase, distorsi politik anggaran, pembohongan publik terkait hutang yang dilakukan pemerintah, kebijakan ekonomi yang bukan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, ironi negeri yang menjadi korban akal-akalan pihak asing, hingga sejumlah solusi untuk memecah sengkarut yang membelit negeri.
Akal-akalan para penguasa memang terlihat ketika perekonomian Indonesia diarahkan untuk selalu bergantung terhadap hutang luar negeri. Padahal, berbagai kajian ekonomi maupun pandangan kasat mata, dengan jelas menyimpulkan bahwa hutang luar negeri pada umumnya tidak diperlukan, karena banyak dikorup, tidak efisien dan tidak efektif. Singkatnya hutang ini hanya menguntungkan kreditor dan kaki tangannya tetapi merugikan Indonesia secara ekonomis maupun politis. Namun dengan berbagai alasan yang dibalut dengan kebijakan akal-akalan tentunya, kebijakan mencari hutang terus saja berlangsung sampai saat ini.

Melalui buku ini kita dicerdaskan untuk melihat permasalahan secara global dalam konteks-konteks kasus kekinian. Selamat membaca!

Senin, 25 November 2013

Menanti halaman Kedua Anas

Pengarang : Iswara N Aditya & M Arief Rahmat
Penerbit : Media Pressindo
No : SPPT.0329-DP-1113
 
 "Saya yakin, yakin. Satu rupiah saja Anas korupsi di Hambalang, gantung Anas di Monas!
(ANAS URBANINGRUM)
"KALAU SEMUA PENJAHAT MENGAKUI KESALAHANNYA, MAKA PENUHLAH SEMUA PENJARA"
(ABRAHAM SAMAD)
Buku ini nampaknya membentangkan tentang Anas pasca ditetapkan tersangka oleh KPK (Pebruari 2013). setlah ditetapkan tersangka Ans menyatakan mengundurkan sebagai Nahkoda Partai Demokrat. Saat pengunduran diri itulah Anas berstetmen tentang "HALAMAN KEDUA" 
Namun isinya ternyata mengembara kemana-mana. Hampir semua kasus terkait dengan perilaku menyimpang "Korupsi" disentuh buku ini seperti:
  • Kasus Bank Centuri yang (Masih) jadi meisteri (halaman 19)
  • Berkubang di Wisma Atlet dan Hambalang (halaman 39)
  • Jalan Berliku Kaus Dispenda Gate (halaman 93)
  • Korupsi Sapi dan Mesin Jahit Depsos (halaman 107)
  • Mark-Up Tanah Sang Walikota (halaman 119)
  • Kenduri Suap Tanjung Api-Api (halaman 133)
  • Potong Kompas Pengadaan Kapal Tanker LCT 180 (halaman 139)
Buku ini hasil kreasi cermat Iswan N.Raditya & M.Arief Rahmat. Penerbit Media Presindo.

Jumat, 22 November 2013

Kontroversi Mahfud MD

Pengarang : Rita Triana Budiarti
Penerbit : Konsitusi Press
No :SPPT-0328-DP-1113
Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud MD mengatakan sedang menyusun sebuah buku yang berisi kontroversi dari sikap dan komentarnya.

"Saat ini bukunya sedang dalam tahap koreksi," kata Mahfud di Jakarta, Jumat 23 November 2012. Menurut dia, buku yang berjudul 'Kontroversi Mahfud MD' ini akan terbit dengan sampul berwarna hitam dan bergambar dirinya.

Kontroversi yang sering dilontarkan Mahfud, semisal dugaan adanya mafia narkoba di Istana, membuat sejumlah menteri 'ribut'. Padahal, menurut Mahfud, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tak pernah mempermasalahkan sikapnya yang terbuka dan suka mengkritik.

Namun sikap ini menimbulkan pertentangan dari menteri-menteri yang tersinggung dengan pernyataannya. Mahfud menilai, para menteri yang tersinggung itu memegang alasan etika jabatan yang intinya tidak boleh mengkritik kepada sesama pejabat.

Mahfud menambahkan, tak hanya kalangan menteri, Dewan Perwakilan Rakyat juga dibuat kesal dengan sikapnya yang sering kali memancing 'keributan'. Salah satu buktinya, lanjut Mahfud, dewan memotong anggaran Mahkamah Konstitusi sebesar Rp 61 miliar.

“Saya tidak peduli. Saya tidak bisa ditekan dengan cara seperti itu," kata dia.

Kamis, 21 November 2013

Hak-hak Saat Digeledah

Pengarang : Imam Sopyan Abbas
Penerbit : Dunia Cerdas
No ; SPPT.0327-DP-1113

Wajib Dibaca Semua Kalangan

Tahukah Anda? 46 dari 60 Orang atau Sekitar 77% Orang yang Berperkara Tidak Memperoleh Hak-Hak Hukum Sebagai Warga Negara Indonesia



Melalui data survey terhadap warga negara Indonesia yang pernah disangkakan tuduhan pidana, hasilnya cukup mengejutkan, 46 orang dari 60 orang atau sekitar 77% orang yang berperkara tidak memperoleh hak-hak hukumnya sebagai warga negara Indonesia, misalnya pendampingan dari kuasa hukum dalam proses peyidikan. pengajuan pra-peradilan. permohonan ganti rugi dan rehabilitasi, ataupun penangguhan penahanan

Mayoritas masyarakat umum memang tidak memiliki pengetahuan yang memadai terhadap hak-hak mereka dalam proses penegakan hukum. Mereka bahkan tidak mendapat pengetahuan/pemberitahuan dari pihak-pihak yang berwenang. Tentang hak-hak dasar dalam hukum pidana di Indonesia.

Dengan prinsip asas praduga tak bersalah (preasumption of innocence), proses penggeledahan tidak lantas menjadikan seorang warga negara bersalah sebelum pembuktian di pengadilan. Oleh karena itu setiap orang harus tetap tenang dan "berani" unluk mempertahankan hak-hak hukumnya.

Buku "Tahukah Anda Hak-Hak Saat Digeledah" ini hadir sebagai upaya edukasi bagi masyarakat secara luas tentang proses tindakan penyidikan dan tindakan penggeledahan. Buku ini menginformasikan secara detail apa yang wajib dilakukan setiap penegak hukum dan apa yang menjadi hak setiap warga negara. Dua hal yang sesungguhnya telah dengan jelas dan rinci diatur dalam konstitusi negara ini. Maka kehadiran buku ini adalah sebagai upaya membantu tugas negara dalam melayani warganya dengan semangat pemenuhan hak-hak setiap warga negara di hadapan hukum.

Rabu, 20 November 2013

Undang-undang No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan

Pe3ngarang : Laksana
Penerbit : Laksana
No : SPPT.0326-DP-1113

Buku ini dilengkapi dengan PP RI No. 28 Th. 2004 tentang Keamanan, Mutu, dan Gizi Pangan, PP RI No. 19 Th. 2003 tetntang Pengamanan Rokok bagi Kesehatan, PP RI No. 68 Th. 2002 tentang Ketahanan Pangan, PP RI No.72 Th. 1998 tentang Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan. PP RI No. 40 Th 1991 tentang Penanggulangan Wabah Penyakit Menular.

Undang-Undang Ormas (Organisasi Masyarakat)

Pengarang : Tim Pustaka Mahardika
Penerbit : Pustaka Mahardika
No : SPPT.0325-DP-1113

Selasa, 19 November 2013

Hukum Perusahaan

Pengarang : Hemdri Raharjo S.H
Penerbit : Pustaka Yustisia
No ; SPPT.0324-DP-1113

Apakah anda termasuk orang yang ingin mandiri dan mendirikan atau mengikuti sebuah perusahaan? Anda binggung memilih dan menentukan bentuk perusahaan? Anda ingin memahami dasar-dasar hukum dari sebuah perusahaan? Anda ingin tahu prosedur pendirian perusahaan?
Anda dapat menemukan jawaban serta informasi penting lainnya ketika membaca buku ini.

Buku "Hukum Perusahaan" ini secara sistematis dan lengkap akan memaparkan berbagai hal terkait dengan aktifitas sebuah perusahaan khususnya ditinjau dari aspek hukum yang ada.
Buku ini membahas beragam topik diantaranya: pengantar hukum perusahaan; badan hukum; perusahaan perseorangan; persekutuan perdata; persekutuan firma; persekutuan komanditer/CV; perusahaan transnational/multinational; perseroan terbatas/PT.

Buku ini dapat dijadikan pegangan oleh praktisi hukum, praktisi bisnis, akademisi, maupun masyarakat umum yang ingin tahu dan terlibat lebih jauh dalam kegiatan sebuah perusahaan.

Senin, 18 November 2013

The Stars Shine Down (Kilau Bintang Menerangi Bumi

Pengarang : Sidney Sheldon
Penerbit : Pt Gramedia Pustaka Utama
N0 : SPPT.0323-DP-1113


Ringkasan Buku Kilau Bintang Menerangi Bumi - The Stars Shine Down

Lara Cameron, seorang taipan muda yang sangat cantik, telah bekerja mati-matian untuk mencapai sukses, kekuasaan, dan kemapanan hidup serta kehidupan pribadinya. Tapi seorang kekasih yang dicampakkan menyimpan dendam di hatinya - dan melancarkan aksi pembalasan yang dapat menghancurkan seluruh kerajaan bisnis Lara yang telah dibangunnya sepanjang hidupnya.

Dengan setting Skotlandia dan Nova Scotia, Chicago, New York, London, Roma, dan Reno, Kilau Bintang Menerangi Bumi menelurusi kebangkitan Lara dari suatu masa lalu yang ingin disembunyikannya menuju ke puncak kemasyhuran dan kejayaan internasional, menyoroti tokoh-tokoh unik yang dikisahkan dalam trick-trick khas Sheldon yang penuh kejutan.

Dimulai dengan masa kanak-kanaknya yang sangat miskin, Lara dengan cepat belajar memanfaatkan siapa saja yang bisa banyak membantunya sampai-saat ia telah mencapai semua ambisinya yang luar biasa itu-semuanya tiba-tiba terancam punah...

Sekali lagi para pembaca disuguhi keterampilan menulis yang sangat andal, karena Sidney Sheldon, seperti biasa, tidak pernah membiarkan semuanya terjadi sesuai dengan tebakan pembaca.

Rabu, 14 Agustus 2013

Perbandingan Hukum Pidana

Pengarang : Prop Dr Barda Nawawi Arief S.H
Penerbid :Rajawali Pres
No : SPPT-0322-DP-0813
 
Bahan bacaan dan acuan untuk hukum perbandingan pidana,masih sangat langka dan terbatas.hal ini tentunya memengaruhi tingkat dan kualitas pengembangan pendidikan hukum dan pembaharuan pidana indonesia.bertolak dari permasalahan ini,maka buku ini ditujukan untuk mengisi literatur perbandingan hukum pidana di indonesia.selain memuat meteri-materi pokok dalam perbandingan pidana,buku ini juga dilengkapi dengan beragam tulisan dan tinjauan yang berhubungan dengan perkembangan pembaharuan hukum pidana.
buku ini selain bermaanfaat bagi mahasiswa fakultas hukum,juga dapat digunakan oleh para praktisi dan pengamat dibidang hukum pidana.

Selasa, 02 Juli 2013

Birokrasi Dan Politik Di Indonesia

Pengarang : Prof Dr Miftah Thoha MPA
Penerbit : Rajawali Pres Jakarta
No : SPPT.0321-DP-0513
 
”Ketika kehadiran partai politik yang berupa pejabat-pejabat politik dalam birokrasi pemerintah tersebut mulai timbul, maka timbul pulalah suatu pertanyaan tentang hubungan keduanya. Pertanyaan ini sebenarnya merupakan pertanyaan klasik yang dahulu pernah dijernihkan oleh Woodrow Wilson sebagai perwujudan dari dikotomi antara politik dan administrasi”

Abstraksi diatas merupakan sebuah kutipan dari buku Prof. DR.Miftah Thoha,MPA yang berjudu Birokrasi dan Politik di Indonesia. Abtraksi mampu dalam mampu merefleksikan essiensi dari hubungan politik dan birokrasi.  Dalam hal ini, Politik dan birokrasi adalah dua hal berbeda tapi keduanya memiliki hubungan yang tidak dapat dipisahkan. Hubungan tersebut rentan melahirkan konflik sehingga hubungan keduanya kerap kali dianalogikan seperti “ hubungan benci tapi rindu”.  Hal semacam ini akan tampak jelas pada negara yang menganut sistem demokrasi seperti indonesia.
Hadirnya partai politik sebagai karakteristik negara demokratis semakin memberikan warna pada perdebatan dikotomi politik dan administrasi, dimana menurut teori demokrasi liberal kehidupan birokrasi pemerintah didominasi oleh pejabat karier yang profesional dan pejabat politik dari parpol yang mendapatkan mandat rakyat melalui pemilihan, kedua pejabat tersebut saling berinteraksi bahkan berpotensi melakukan intervensi. Kehadiran ideologi parpol dalam kehidupan birokrasi cendrung mengkontaminasi kinerja birokrasi  sebagai pelayan publik yang dituntut untuk netral. Masuknya Ideologi parpol mempengaruhi congnitive maps pejabat politik sebagai decision maker sehingga kerap kali ouput kebijakan lebih cendrung berorentasi pada kepentingan parpol daripada publik. Disamping itu, eksistensi mereka dalam birokrasi dijadikan ajang mempertahankan status quo, pasalnya birokarasi dianalogikan seperti bangunan bertingkat yang dapat menyentuh semua lapisan masyarakat sehingga dapat dijadikan ajang untuk mendaptkan voters.
 Perdebatan dikotomi politik dan birokrasi berkosekuensi logis melahirkan isu ”netralitas birokrasi” sebagai jalan tengah menjembatani problem ini, asumsinya semakin netral birokrasi maka semakin jauh dari politik. Dalam konteks ini, Weber mengemukakan ”birokrasi rasional” sebagai manefestasi netralitas birokrasi, dimana  tatanan pola hirarki otoritas menjadi salah satu kewajiban birokrasi untuk netral. Namun, ternyata pola hierarki ini cendrung melahirkan deviasi kekuasaan yang merugikan publik dan justru memperkuat kerjaaan pejabat (officialdom) khusunya di level atas (pejabat politik sebagai penguasa). Disamping itu, prespektif birokrasi Weberian yang mengamsumsikan birokrasi tercipta indepent tanpa ada intervensi kekuatan politik ternyata tidak terbukti sepenuhnya. Menurut David Beentham (1975) tipe ideal birokrasi Wiberian sebenarnya juga mengambarkan adanya faktor politik yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan birokrasi sehingga kinerja birokrasi cendrung bisa keluar dari fungsi yang semestinya, hal ini disebabkan pekerja birokrasi tidak mampu memisahkan prilaku antara kepentingan individu dan publik.  
 Maka dari itu, birokrasi Weberian akhirnya banyak mendapat kritikan. Warren Bennis (1967) menjelaskan tatanan birokrasi akan berevolusi mengikuti perkembangan masyarakat, dimana suatu saat birokrasi Weberian akan tidak berlaku lagi. Kemudian kritikan ini dipertajam oleh Lawrence dan Lorch (1967), mereka menjelaskan kunci dari survivenya birokrasi hanya terletak pada daya adaptasi terhadap perubahan lingkungan. Heckscher dan Donellon (1994) juga mengkritik hal yang sama, mereka meprediksikan birokrasi di masa depan tidak hanya berorientasi inward looking tetapi lebih onward looking, dimana powering bukan lagi menjadi alat pengendali mesin birokrasi.
Karl Marx dan Hegel juga menyoroti  konsep netralitas birokrasi. Dalam hal ini, Marx mengelaborasi konsep birokrasi dengan menganalisis dan mengkritik falsafah Hegel mengenai negara. Dalam konteks ini, Birokrasi Hegelian menjelaskan administrasi negara atau birokrasi merupakan jembatan yang menghubungkan kepentingan negara yang bersifat umum dengan kepentingan masyarakat yang bersifat khusus (the civil Society). Namun, hal ini dikritik oleh Mark. Menurut Marx, negara tidak mampu mewakili kepentingan umum akan tetapi lebih mewakili kepentingan khusus dari kelas dominan/kapitalis sehingga birokrasi cendrung menjadi instrumen kaum kapitalis untuk menbangun imperiumnya. Dan hanya melalui revolusi proletarian dan kehadiran kelas-kelas di dalam masyarakat birokrasi dan negara yang semacam itu dapat dimusnahkan.
Peran pemerintah dalam menjalankan dua fungsi sekaligus yaitu fungsi administrasi dan fungsi politik semakin memberikan warna pada sulitnya melakukan dikotomi antara birokrasi dan politik, apalagi ke dua fungsi tersebut lahir dan berkembang secara bedampingan dalam kurun waktu yang sama bersamaan dengan lahirnya  pemerintahan suatu negara. Hal ini mengakibatkan adanya hubungan ketergantungan antara keduanya yang sulit dipisahkan. Sebaliknya, hubungan keduanya justru berpotensi melakukan intervensi satu sama lain yang seharusnya berbeda arena. Dalam konteks ini, Fungsi politik tumbuh dan berkembang dalam arena konflik yang menitikberatkan pada persoalan nilai, ini mengasumsikan bahwa kelompok masyarakat pastilah memiliki nilai  (kepentingan politik) sehingga mereka akan berusaha mendekati garis otoritas agar nilai yang diyakininya dapat terwujud dan diterima oleh kelompok masyarakat lainya. Di sisi lain, fungsi administrasi lebih menitikberatkan pada arena fakta, dimana semakin pesat perkembangan masyarakat semakin memerlukan korp birokrat yang profesional, handal, penuh dedikasi, integritas dan berkomitmen tinggi guna mencapai efektivitas dan efisiensi yang merefleksikan kenyataan.  Ketika kedua fungsi tersebut mulai mengintervensi arena yang bukan haknya, maka eksistensi birokrasi pemerintah sebagai pelayan publik mulai terancam dan dipersoalkan.
 Selama ini fungsi administrasi di pemerintah Indonesia dinilai lebih tunduk pada fungsi politik. Fungsi administrasi hanya berperan sebagai pelaksana kebijakan penguasa yang jauh dari harapan rakyat, kinerja administrasi segaja dimanipulasi oleh politisi untuk mendukung bentuk penyimpangan kekuasaannya. Singkat kata, fungsi administrasi  hanya menjadi sebuah sketsa politisi untuk mempertahankan status quo pejabat politik. Padahal sebenarnya fungsi administrasi inilah yang memiliki peran cukup penting dalam mewujudkan tata pemerintahan yang baik, bersih dan bewibawa (good governance), dimana birokrat seharusnya bukan hanya menjadi pelaksana tetapi juga teribat dalam pembuatan dan evaluasi kebijakan yang memfokuskan pada kualitas pelayanan publik sehingga mampu menstimulan partisipasi publik untuk ikut mengontrol jalannya birokrasi pemerintah dan akhirnya mampu menciptakan hubungan sinirgitas antara  pemerintah, sektor swasta dan rakyat dalam posisi eqilibirium. Tentunya ke dua fungsi untuk ”netral” dalam rangka mewujudkan ”good governance” sulit terealisasikan, hal ini sangat dipengaruhi oleh aspek ”moral” atau ”kesalehan sosial” dalam diri pejabat dalam menjalankan tanggungjawabnya sebagai pelayan publik.
Dalam hal ini, intervensi fungsi keduanya juga bisa dilihat dari pola hubungan eksetutif dengan legeslatif dalam menjalankan roda pemerintahan. Eksekutif dan legeslatif jelas memiliki peran yang berbeda, tapi keduanya pasti tidak bisa terlepas dari suatu interaksi. Keduanya sama-sama berpotensi menjadi pengendali kekuasaan, adakalanya lembaga eksekutif yang memengang lokus kekuasaan tapi tidak jarang pula lembaga legeslatif yang mengendalikan kekuasaan. Hal semacam ini membuat  dikotomi politik dan birokrasi semakin ambigu. Dalam konteks ini, jika control legeslatif dikendalikan parpol terlalu tinggi maka proses politisasi juga semakin meningkat sehingga netralitas dan profesionalisme birokrasi tidak bisa terwujud.
Prinsip pemerintah demokratis yang fokus pada ”kedaulatan rakyat” mengalami kesulitan untuk menginterprestasikan dan mewadahi semua kepentingan rakyat sehingga jalan tengah yang diambil adalah ”kekuasaan moyoritas” dalam pembuatan kebijakan. Namun ternyata ini berpotensi menodai prinsip demokrasi, dimana para pembuat kebijakan (pejabat politik) lebih mudah melakukan suatu ”rekayasa” dengan mengatasnamakan rakyat untuk kepentingan kelompoknya. Dalam hal ini, Ideologi politik yang sejalan dengan demokrasi berusaha membatasi kekuasaan yang dahulunya tak terbatas. Upaya mengekang kekuasaan para penguasa ini dimanefestasikan dalam konstitusi. Maka dari itu,  dalam rangka meminimalisir ataupun intervensi politik dalam tubuh birokrasi pemerintah dituntut mampu menciptakan konstitusional yaang kuat, dimana supremasi hukum berjalan dengan semestinya tanpa ada diskriminasi sehingga hak-hak rakyat tetap terlindungi tidak dimakan oleh para penguasa.
Sistem merit yang diterapkan dalam kehidupan birokrasi juga memberikan implikasi signifikan terhadap perdebatan ”dikotomi politik dan birokrasi”, dimana sistem ini memprioritaskan profesionalisme bagi pengisian pejabat birokrasi baik untuk pejabat karier ataupun politik. Sistem ini berasumsi seorang berhak menjadi birokrat apabila sudah melewati tahapan karier yang tertib dan disiplin, artinya seorang birokrat harus memiliki pengetahuan dan pengalaman dalam perjalanan kariernya. Namun, ketika sistem demokrasi yang melahirkan pejabat politik masuk dalam jajaran kinerja birokrasi  makna eksistensi sistem ini mulai dipertanyakan. Hal semacam ini terefleksi dengan jelas dalam persolan menentukan siapa yang berhak menjabat sebagai  mentri, apakah seorang yang profesional ataukah seorang yang berpartai politik.
Dalam konteks ini, pemilihan pejabat ditingkat birokrasi sudah tidak mengindahkan sistem merit ini, siapa pun mampu memasuki lingkup birokrasi tanpa prioritas profesionalisme asalkan memperoleh mandat dari rayat ataupun dari pejabat politik yang memengang kekuasaan, seorang bisa melakukan loncatan lansung tanpa harus antri yang tertib dan disiplin untuk mendapatkan jabatan penting di birokrasi. Proses politisasi semacam ini hanya mengandalkan “loyalitas” terhadap pemegang otoritas. Tentunya hal ini rentan sekali melahirkan praktek KKN, dimana orang yang memiliki hubungan dekat (keluarga, parpol dll) dengan pejabat tinggi politik lebih mudah memperoleh jabatan yang kadangkala justru menimbulkan kecemburuan sosial bagi pejabat karier yang mengikuti prosedur perjalanan kariernya dengan tertib  sehingga mereka cendrung terpengaruh untuk mendekati kekuasaan guna terlepas dari kukungan antrian dalam memperoleh jabatan dan parahnya ini berimplikasi besar terhadap “netralitas birokrasi” yang hanya akan menjadi sebuah konsep.
       Semakin besar politisasi dalam tubuh birokrasi ini menyebabkan kesulitan dalam melakukan perbedaan atau klasifikasi antara pejabat karier dan politik.  Dalam hal ini, hubungan keduanya merupakan suatu hubungan yang konstan antara fungsi kontrol dan dominasi. Namun, kemudain muncul persoalan ” siapa mengontrol siapa dan siapa pula yang menguasi memipin dan mendominasi siapa” . Persoalan semacam ini dapat dijelaskan melalui dua perspektif pendektan:
Ø  Executive ascendancy. Pendekatan ini melihat birokrasi sebagai subordinasi dari politik. Asumsinya kepemimpinan pejabat politik didasarkan atas kepercayaan bahwa supremasi mandat tersebut berasal tuhan atau berasal dari rakyat sehingga birokrasi pemerintah hanya dianggap sebagai mesin pelaksana kebijakan politik untuk mencapai tujuan publik.
Ø  Bereaucratic sublation birokrsi. Pendekatan ini melihat posisi birokrasi  sejajar dengan politik. Dalam hal ini, Weber dan Mark menjelaskan birokrasi yang real mempunyai kekuasaan seimbang dengan kekuasaan politik, dimana pejabat birokrasi memiliki profesionalisme yang permanen dan ini menandakan kekuatan birokrat mampu menghasilkan kebijakan yang berkualitas bukan hanya menjadi pelaksana.
 
Gejalah-gejalah diatas menunjukkan bahwa faktor yang menghambat terwujudnya “netralisasi birokrasi” ternyata datang dari sistem pemerintahan itu sendiri. Maka dari itu, diperlukan langkah yang tepat untuk merestrukturisasi birokrasi pemerintah seperti : (1) merumuskan pengertian pejabat karier dan politik dengan jelas (2) melakukan identifikasi jabatan (3) penentuan batas-batas tugas, tangung jawab dan kewenangan antara ke duanya (4) penetapan hubungan kerja antara keduanya.
      Dalam konteks ini,  hakekat netralitas birokrasi mengharapkan pelayanan harus tetap berorientasi pada kepentingan publik walaupun terjadi pergeseran kekuasaan (dari parpol yang memerintah). Dalam konteks ini, Birokrasi memberikan pelayanan berdasarkan ”loyalitas profesionalisme”, bukan pada ”loyalitas politik (parpol penguasa)” .   Dunleavy dan O’Leavy  (1987) mencoba memaparkan 4 model yang dapat dipergunakan untuk mengatur birokrasi pemerintah agar terhindar dari intervensi ideologi partai politik guna mewujudkan netralisasi birokrasi. Adapun 4 model tersebut adalah sebagai berikut  :
1.      Model perwakilan konstitusional. Model ini berasumsi semua rakyat bebas berserikat dalam suatu partai politik dan rakyat  itu pula yang memilih   perwakilan dalam konstitusional. Model ini menekankan bahwa pegawai pemerintah adalah mesin birokrasi yang harus netral dari kekuatan parpol yang berkuasa. Dalam hal ini,  pejabat politik memimpin pejabat birokrasi dan pejabat birokrasi diwajibkan melayani mereka dengan syarat tidak boleh terpengaruh.
2.      Model Pluralist. Pada dasarnya essiensi model pluralist hampir sama dengan model perwakilan konstitusional. Namun, model ini juga mengasumsikan bahwa pejabat birokrasi adalah bagian dari organisasi kelompok kepentingan dalam masyarakat, mereka juga memiliki peran untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah. Dengan demikian, pengawai pemerintah dituntut netral dari pengaruh partai politik dan kelompok kepentingan lainnya kecuali kelompok kepentingan birokrasi pemerintah itu sendiri.
3.      Model otonomi yang demokratis. Model ini melihat pengawai pemerintah juga membutuhkan otonomi dalam menentukan kebijakan, namun ini tak lantas membuat mereka lepas dari kelompok kepentingan yang lain. Dalam hal ini, birokrasi pemerintah  harus memiliki preferensi tertentu  dalam pengambilan kebijakan agar bisa netral.
4.      Model new right. Model ini berasumsi bahwa kehidupan birokrasi cendrung melahirkan inefisien dan inefektivitas, dimana kepentingan politik dan kepentingan kelompok sering kali memfragmentasikan kepentingan publik. Maka dari itu, untuk menghindari hal tersebut pegawai pemerintah harus pintar memposisikan diri dan harus hati-hati dalam menentukan kebijakan  sehingga ouput kebijakan benar-benar bisa bermanfaat bagi rakyat. 
      Netralitas birokrasi di negara demokratis menjadi tantangan yang harus diwujudkan oleh civil society sebagai lembaga yang meletakan supremasi sipil (kepentingan publik) diatas kepentingan lainnya dalam menjalankan birokrasi pemerintah. Hal ini juga akan merangsang terciptanya pemerintahan yang amanah dengan kelembagaan birokrasi pemerintah yang sipilian. Dalam hal ini, civiel society telah mencoba mengubah  paradigma sebagai manefestasi langkah guna mewujudkan netralisasi birokrasi pemerintah. Adapun perubahan paradigma tersebut meliputi :
1.      Perubahan paradigma dari orientasi sistem management negara menjadi orientasi pasar
2.      Perubahan paradigma dari orientasi lembaga pemerintah yang otoriter menjadi demokrasi.
3.      Perubahan paradigma dari sentralisasi kekuasaan menjadi desentralisasi kewenangan.
4.      Perubahan manejemen pemerintahan yang berarah kepentingan nasional menjadi lebih global.
5.      Perubahan paradigma dari birokrasi weberian ke post bereaucratic goverment dan post bereaucratic organization.
6.      Perubahan paradigma dari a low trust society kearah hight trust society.

      Namun, perubahan paradigma ini tidak akan memberikan arti yang signifikan terhadap netralitas birokrasi apabila tidak mendapat dukungan sepenuhnya dari masyarakat. Masyarakat  ataupun pejabat pejabat yang berperadaban, bermoral, patuh terhadap hukum sangat diperlukan untuk mewujudkan netralitas birokrasi. Di samping itu, pemerintah harus mampu memberdayakan masyarakat dan melakukan pengembangan kelembagaan (lembaga demokrasi, lembaga hukum, dsb) yang sesuai dengan kepentingan publik. Dalam hal ini, Sumpremasi hukum diatas kekuatan lainnya menjadi kunci untuk tetap bisa melindungi hak-hak rakyat sehingga pejabat birokrasi mampu mengemban amanah yang diberikan oleh rakyat.

Senin, 01 Juli 2013

Bahasa Jurnalistik

Pengarang : Abdul Chaer
Penerbit : Rineka Cipta
No : SPPT-0320-DP-0513
 

SINOPSIS BUKU - Bahasa Jurnalistik : Panduan Praktis Penulis dan Jurnalis
Bagi para penulis dan jurnalis, bahasa adalah senjata, dan kata-kata adalah pelurunya. Mereka tidak mungkin bisa melumpuhkan kekuatan pikiran, susasana hati, dan gejolak perasaan khalayak pembaca, pendengar, atau pemirsanya, jika tidak menguasai bahasa jurnalistik dengan benar dan baik. Mereka harus dibekali dengan amunisi memadai dengan cara menguasai kosa-kata, ejaan, pilihan kata, kalimat, paragraf. gaya bahasa, dan etika bahasa jurnalistik. Jika tidak, seorang penulis atau jurnalis tidak berbeda dengan prajurit yang menyerah kalah di medan perang.

Sebagai salah satu ragam bahasa, bahasa jurnalistik senantiasa tampil ringkas dan lugas. Bahasa jurnalistik juga diisyaratkan tampil menarik, variatif, segar, berkarakter. Bahasa jurnalistik bersifat logis, dinamis, demokratis, dan populis...

Buku ini mengupas tuntas berbagai hal yang berkaitan dengan bahasa jurnalistik, yaitu fungsi utama bahasa jurnalistik, karakteristik bahasa jurnalistik, kata dan diksi jurnalistik, kaidah diksi jurnalistik, karakteristik kalimat jurnalistik, paragraf jurnalistik, ejaan dalam bahasa jurnalistik...

Buku seri jurnalistik ini diterbitkan untuk memenuhi kebutuhan para mahasiswa jurnalistik, kehumasan (public relations), ilmu komunikasi, dakwah, praktisi media massa, praktisi humas, peneliti intelektual, cendekiawan, ilmuwan, dosen, politisi, aktivitis, guru, serta siapa saja yang memiliki hasrat besar menjadi penulis dan jurnalis...

Selasa, 25 Juni 2013

Langka Jitu merangkai Kata Agar Komunikatif,Hidup Dan memikat menjadi Penulis & Penyunting Sukses

Pengarang : Wahyu Wibowo
Penerbit : Bumi Aksara
No : SPPT.00319-DP-0513
 
Buku tersebut memuat langkah-langkah atau cara-cara menjadi penulis dan penyunting yang sukses.

Kamis, 20 Juni 2013

Analisis Kebijakan Publik

Pengarang ; Edi Sharti Ph
Penerbit : Alfabeta
No : SPPT.0318-DP-0513
 
ANALISIS KEBIJAKAN PUBLIK
Panduan Praktis Mengkaji Masalah dan Kebijakan Sosial
(Public Policy Analysis: A Practical Handbook for Analysing Social Problems and Policies)
 
Oleh : Edi Suharto, Ph.D.
Kebijakan sosial merupakan bagian dari kebikan publik (public policy). Kebijakan publik meliputi semua kebijakan yang berasal dari pemerintah, seperti kebijakan ekonomi, transportasi, komunikasi, pertahanan keamanan (militer), serta fasilitas-fasilitas umum lainnya (misalnya air bersih dan listrik). Kebijakan sosial merupakan satu tipe kebijakan publik yang diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan sosial (Magil, 1986).
Sebagian besar buku atau artikel mengenai analisis kebijakan publik biasanya hanya mengupas konsepsi dan strategi melakukan telaah kebijakan. Pembaca umumnya memperoleh pengetahuan mengenai bagaimana caranya mengupas sebuah kebijakan. Sangat jarang ditemukan karya yang selain  menyediakan kerangka konseptual, juga sekaligus mengupas mengenai produk yang dihasilkan dari proses analisis itu. Meskipun sangat ringkas, buku ini mencoba mengisi relung yang masih kosong dalam diskursus analisis kebijakan publik ini. Ia menyajikan konsepsi, konteks dan sekaligus framework pengkajian kebijakan sosial sebagai salah satu cabang kebijakan publik.
Dengan fokus utama pada pengkajian isu-isu sosial, buku ini menekankan pada bagaimana melakukan analisis kebijakan publik. Tujuan utamanya adalah agar pembaca memiliki kompetensi dalam :
::
Mengidentifikasi dan merumuskan isu atau masalah sosial yang akan dikaji
::
Mengembangkan alternatif dan strategi kebijakan sosial.
::
Membuat naskah kebijakan (policy paper) sebagai output atau bentuk laporan analisis kebijakan.
::
Merancang advokasi kebijakan dengan mana kebijakan akan diajukan kepada pemangku kepentingan (stakeholders) dan sasaran kebijakan (policy audience).