"kami pekerja, suka membaca"

Jumat, 21 Desember 2012

Indonessia BANGKIT!!!

Pengarang ; kompilasi Tulisan beberapa Penulis
Penerbit : Pt Gramedia Pustaka Utama
No : SPPT.0244-DP-0312










Sinopsis

Rasa syukur adalah kunci utama kebahagiaan yang ada di tangan kita karena jika kita tidak bersyukur, sebanyak apa pun yang kita miliki, kita tidak akan bahagia---karena kita akan selalu menginginkan hal lain atau lebih banyak lagi."
Brother David Steindl-Rast

Kutipan di atas rasanya sangat mencerminkan tingkah polah sebagian masyarakat kita, khususnya mereka yang punya jabatan, wewenang atau kekuasaan. Tak bisa menyukuri apa yang sudah dimiliki dan selalu merasa kurang. Korupsi dan pencurian dalam beragam bentuknya makin merajalela dan terang-terangan. Masyarakat merasa semakin dipinggirkan oleh orang-orang yang mereka pilih untuk mewakili mereka di kursi pemerintahan, namun ternyata tak tahu diri berterima kasih.

Dulu, kita masih bisa melawan imperialisme dan kolonialisme karena keduanya tidak bertopeng. Kaum penjajah tidak memakai kedok sehingga dengan mudah kita mengenali mereka.

Sekarang, kaum penjajah sudah tidak terkendali lagi. Mereka menggunakan berbagai macam kedok, dari kedok budaya hingga agama. Melawan mereka bisa diartikan melawan agama karena mereka memang sangat lihai. Agama telah dikaitkan dengan politik dan ekonomi sedemikian rupa sehingga sudah tidak jelas lagi mana urusan agama dan ulama, mana urusan politik dan politisi, dan mana pula urusan ekonomi dan ekonom.

Beragam keprihatinan itulah yang mendorong para pecinta negeri ini untuk berbagi rasa dan pikiran melalui buku ini. Mereka ingin bangsa Indonesia Bangkit dari kemiskinan, keterbelakangan, keterpurukan. Tulisan mereka akan (i) menginspirasi dan memotivasi kita untuk menyiapkan diri menghadapi krisis global yang mulai menghantui dan telah menelan korban di negeri; (ii) memperkokoh komitmen kita terhadap keadilan, kesatuan, kemakmuran dan kesejahteraan negeri ini; (iii) mendorong kita untuk berbuat lebih untuk hidup kita maupun lingkungan kita; (iv) membuat kita lebih bisa mensyukuri apa pun yang kita terima dan alami sehingga hidup menjadi lebih tenang dan berarti.

KEBOHONGAN DI GEDUNG PUTIH.

Pengarang : Scott Mcclellan
Penerbit ; Pt Gramedia Pustaka Utama
No : SPPT.0243-DP-0312










Ringkasan Buku Kebohongan di Gedung Putih. Warisan Dosa-Dosa Bush bagi Penggantinya

Kebohongan di Gedung Putih memberikan perspektif unik tentang berbagai peristiwa, kebijakan, dan kepribadian pemerintahan Bush---
termasuk peristiwa 9/11 dan Perang Irak serta kampanye penjualannya kepada masyarakat nasional dan internasional.

Scott McClellan berbagi pemahamannya yang tajam tentang proses pembusukan budaya politik nasional AS. Ia membeberkan keburukan permainan "politics as usual", entah dalam kampanye, pemerintahan, maupun politik kamuflase bagi media. Di akhir buku, ia melihat ke masa depan, mengupas berbagai bahaya yang harus diwaspadai pemerintahan AS yang baru di bawah kepemimpinan Barack Obama, kepada siapa ia mengimbau perubahan kelembagaan untuk mereformasi budaya kebohongan di Gedung Putih.

Dimensi: 15 x 23 cm
Tebal: 424 halaman
Cover: Hard Cover
ISBN: 978-979-22-4235-5
Kategori: Nonfiksi / Sosial, Politik dan Budaya / Politik

Tentang Pengarang: Scott McClellan
SCOTT MCCLELLAN menjabat sebagai Juru Bicara Gedung Putih dari tahun 2003 sampai 2006. Dari posisinya itu, selama periode paling kontroversial dalam sejarah AS, ia setiap hari menjadi saksi mata semua tindakan yang telah membuat pemerintahan Bush keluar dari relnya dan terjun ke dalam jurang kehancuran.

HAK MOGOK Manual Serikat Kerja

Pengarang : Truc
Penerbit : Truc
No : SPPT.0242-DP-0312

Rabu, 12 Desember 2012

On High-Performance Organizations

Pengarang :  Hesselbein & Rob Joshton
Penerbit : Pt Elex Media Komputindo
No : SPPT.0241-DP-0212








Untuk mencapai keberhasilan, pemimpin mempekerjakan orang-orang yang memiliki segudang pengalaman dan wawasan, mendukung upaya untuk mengantisipasi dan melakukan perubahan, membangun komunitas kerja yang produktif, dan berbagi tanggung jawab.

On High-Perdormance Organizations menampilkan pemikiran terbaik dari pakar-pakar ternama tentang efektivitas organisasi, pertumbuhan yang bertahan lama, dan strategi. Ditulis dalam gaya yang ringkas sehingga ideal bagi eksekutif sibuk yang menpunyai sedikit waktu luang, buku ini menyodorkan daftar nama penulis-penulis hebat. On High-Perdormance Organizations adalah salah satu judul dalam Leader to Leader Guides, yang diambil dari artikel-artikel paling menarik yang pernah muncul dalam Leader to Leader, jurnal pemegang hadiah The Drucker Foundation.

The Serving Leader

Pengarang : ken Jennings Jhon Stahl wert
Penerbit : PT Bhuana Ilmu Populer Kelompok Gramedia
No : SPPT.0240-DP-0409











Mengelola dan Mengembangkan Sumber daya Manusia dalam Persaingan Global

Pengarang : Dra Justine T.Sirait
penerbit : Mitra Wacana media
No : SPPT.0239-DP-0212













Managemen Sumber Daya Manusia Abad 21

Pengarang : Dr Darsono P.SE.SF.MA.MM
Penerbit : Univesitas Krisnadwipayana Jakarta
No : SPPT.0238-DP-0212

Selasa, 11 Desember 2012

Ekonomi Politik Kaum Buruh

Pengarang : Suryadi A Radjab
Penerbit : Lebour Education Center
No : SPPT.0237-DP-0212











Berjuang di Tempat Kerja

Ada banyak perusahaan dan tempat kerja lainnya yang tersebar di berbagai lokasi, kota dan pedesaan. Ada berbagai macam cara pula bagaimana para pemilik perusahaan dan penguasa tempat-tempat kerja ini menata dan mengaturnya. Dan di situlah pula para penjual tenaga kerja (buruh) menjalankan kewajiban kerjanya untuk orang-orang yang mempekerjakannya.
Hubungan-hubungan yang berlangsung di berbagai tempat kerja, memang perlu diamati guna mengumpulkan berbagai informasi dan kemudian melengkapi sebagai rumusan rencana bertindak ketika menghadapi masalah: rumusan tentang berjuang di tempat kerja.

Apakah tempat kerja itu?
Setiap buruh atau penjual tenaga kerja pasti tahu di tempat seperti apa mereka bekerja. Misalnya, buruh yang bekerja di pabrik, bekerja di perkebunan, bekerja di pertambangan, bekerja di perhotelan, bekerja di bank, kantor LSM, bekerja di sekolah atau universitas, bekerja di kantor-kantor pemerintah, serta bekerja di bandara dan pelabuhan. Semua itu adalah tempat-tempat kerja di mana buruh bekerja.
Pertama, tempat kerja adalah tempat di mana buruh atau penjual tenaga kerja menjalankan kegiatan kerjanya. Tempat kerja berarti tempat tersedianya alat-alat atau sarana-sarana kerja yang dipergunakan buruh atau para penjual tenaga kerja untuk menjalankan kegiatan kerjanya.
Kedua, tempat kerja juga merupakan tempat di mana perusahaan-perusahaan milik pengusaha dan milik negara atau orang-orang yang menguasainya melakukan penataan dan pengaturan terhadap orang-orang yang dipekerjakan. Tempat-tempat kerja ini diatur berdasarkan hak milik atau otoritas yang dimilikinya. Artinya, tempat kerja ini ada pemilik atau penguasanya.
Ketiga, tempat kerja merupakan tempat di mana masalah-masalah hubungan kerja berlangsung. Buruh sebagai golongan yang dipekerjakan menghadapi berbagai masalah hubungan kerja dalam perusahaan dan tempat kerja lainnya.
Keempat, tempat kerja bisa digunakan buruh untuk melancarkan perjuangannya. Karena munculnya masalah-masalah hubungan kerja, maka buruh juga berjuang mengajukan tuntutan-tuntutannya kepada pihak yang mempekerjakannya.

Apa yang dialami buruh dalam hubungan kerja?
Hubungan kerja (produksi) adalah hubungan di mana buruh mengeluarkan tenaga kerjanya - sebuah tenaga yang luar biasa hebatnya - untuk menghasilkan produk. Dengan tenaga inilah buruh dapat menghasilkan banyak barang dan jasa sesuai dengan kemampuannya.
Berhubung tenaga kerja melekat dalam tubuh buruh, maka penggunaannya yang terus-menerus pastilah membahayakan kesehatan dan keselamatan buruh. Penggunaannya harus dibatasi, katakanlah, 8 jam sehari. Bila lembur, juga harus dibatasi, terutama yang lebih banyak menggunakan tenaga fisiknya seperti menjahit, memotong, mengangkut dan mengepak barang. Karena mata, tangan dan anggota tubuh lainnya bisa mengalami kelelahan. Penggunaan di luar batas kemampuannya akan merusak sel-sel tubuh buruh.
Dalam bekerja, buruh merasakan dan mengalami kelelahan. Apalagi dengan konsentrasi dan terus-menerus. Terlebih lagi buruh menghadapi bagian-bagian yang sama sepanjang pekerjaannya. Buruh bisa bosan, muak serta sekaligus kantuk. Itu-itu melulu untuk memenuhi kerjanya pada pengusaha. Karena itu, buruh perlu istirahat dan memenuhi kebutuhan hidupnya yang cukup agar buruh dapat memulihkan tenaganya untuk digunakan kembali esok harinya.
Walaupun sudah mengeluarkan tenaga berjam-jam, buruh tak lepas dari pengawasan. Di antara mereka banyak yang dimata-matai ketika bekerja. Bahkan ada yang dimarahi atau dibentak. Bagi buruh perempuan, tak jarang mengalami pelecehan: diganggu secara seksual. Ada yang hamil sulit mendapatkan cuti hamil. Ada pula yang mengalami haid, tak diberikan cuti haid.

Apakah buruh harus menerima saja nasibnya?
Di antara buruh, ada yang menerima begitu saja nasibnya dan ada pula yang tak hanya berdiam diri diperlakukan sewenang-wenang berdasarkan aturan-aturan pengusaha seperti PHK, upah dan tunjangan kerja yang belum dibayar atau dipotong, pengusaha belum menaikkan UMR, atau dihukum jemur.
Tapi banyak tindakan yang diambil buruh, lebih bersifat spontan: tanpa perencanaan. Ketika menolak diperlakukan sewenang-wenang, buruh secara spontan mengajukan tuntutan baik dalam bentuk petisi dan poster atau pamflet maupun aksi mogok kerja dan demonstrasi.
Walaupun begitu, menolak perlakuan sewenang-wenang dengan bentuk apa pun - sepanjang bukan perusakan atau kriminal (menurut aturan pengusaha yang berlaku umum) - tindakan spontan buruh sudah mencerminkan kemajuan bagi kesadaran buruh itu sendiri. Mereka sudah bisa membedakan mana yang sewenang-wenang dan mana pula yang benar (menurut aturan pengusaha yang berlaku umum).
Aksi-aksi yang dilakukan buruh secara spontan mencerminkan tahapan perkembangan dalam menanggapi perkembangan situasinya. Buruh juga tak perlu berkecil hati karena kelemahan dan kekurangannya dalam membangun alat-alat perjuangannya sendiri. Tahap seperti ini bisa dikatakan sebagai tahap awal, yang harus dilanjutkan dengan tahapan berikutnya.
Yang terpenting bagi buruh adalah semangatnya untuk tidak menyerah atau putus asa terhadap satu-dua kegagalan. Dan yang lebih penting lagi adalah belajar dari kegagalan-kegagalan sebelumnya, sehingga bisa ditarik pelajaran berharga. Buruh harus melatih diri untuk keluar dan membebaskan diri dari keadaan putus asa.

Apa saja masalah yang muncul di tempat kerja?
Seperti sudah ditunjukkan, tempat kerja merupakan tempat di mana masalah-masalah hubungan kerja dan lainnya muncul dan berkembang. Kita perlu melihat masalah-masalah yang muncul dan berkembang di tempat-tempat kerja.
Pertama, sudah umum bila buruh menghadapi masalah upah. Bisa bermasalah karena pemilik perusahaan belum memberlakukan UMR yang sudah dikeluarkan pemerintah. Bisa juga karena upah yang diberlakukan terlalu rendah. Dan juga bisa karena pihak pengusaha menjanjikan kenaikan upah atau gaji secara berkala setahun atau dua tahun sekali.
Kedua, sudah banyak perusahaan memberlakukan tunjangan. Bahkan sudah berlaku UU Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek). Selain asuransi, buruh juga membutuhkan tunjangan kerja (sudah lebih setahun kerja), tunjangan keluarga, tunjangan kesehatan, dan tunjangan makan dan transpor. Kalangan pegawai negara dan buruh perusahaan negara sudah umum ada pensiun, tapi perusahaan swasta masih banyak belum punya program pensiun.
Ketiga, berbagai keberhasilan yang diraih perusahaan, buruh juga membutuhkan bonus tahunan atas prestasi yang dihasilkannya. Buruh menyadari bahwa keuntungan-keuntungan perusahaan sama sekali tidak lepas dari hasil kerja mereka. Kesadaran ini telah membangkitkan mereka untuk menuntut bonus dari keuntungan yang selama ini dipetik pihak pengusaha.
Keempat, dalam penerapan perjanjian kerja bisa timbul berbagai masalah baik perjanjian kerja individual maupun kolektif (dengan serikat). Perjanjian kerja individual menyangkut waktu kerja dan jenis pekerjaan beserta disiplin yang diterapkan. Sedangkan kolektif tertuang dalam KKB (Kesepakatan Kerja Bersama) antara perusahaan dengan serikat buruh. Begitu juga masalah status hubungan baik temporer maupun permanen.
Kelima, buruh juga banyak menghadapi masalah PHK. Perusahaan bisa berdalih karena bangkrut, buruh tidak disiplin, atau buruh mengundurkan diri, PHK terjadi. Setiap usai

pemogokan buruh, sering terjadi PHK, karena pihak pengusaha sudah memata-matai orang yang dianggap pemimpin buruh dalam aksi mogok tersebut.
Keenam, banyak tindakan buruh dalam menyampaikan tuntutan di lakukan dengan aksi mogok serta unjuk rasa. Hak mogok bukan hanya diakui, tapi juga sudah dijamin oleh UU. Artinya, bila ada masalah di tempat kerja, buruh berhak mengungkapkannya dengan cara mogok kerja dan unjuk rasa. Mogok dan unjuk rasa ini merupakan salah cara dalam meningkatkan posisi tawar buruh terhadap pengusaha. Cara lainnya adalah berunding dengan pengusaha dalam menyampaikan tuntutan-tuntutan buruh.
Ketujuh, bagi kalangan buruh perempuan secara alamiah mengalami haid dan mereka juga mengalami hamil. Demi kesehatan mereka, seharusnya diberlakukancuti haiddan hamil (beserta melahirkan). Masalah ini sudah banyak dialami, sehingga pihak pengusaha tidak peduli terhadap buruh yang haid dan hamil. Begitu juga buruh membutuhkan cuti tahunan untuk memulihkan rasa bosan dan muak selama menghadapi situasi di tempat kerja agar mereka dapat memanfaatkan cuti mereka dengan tetap dibayar upahnya.
Kedelapan, setiap tempat kerja, buruh membutuhkan alat mereka berkumpul, meningkatkan wawasan, membahas masalah-masalah mereka secara bersama dan menyampaikan tuntutan bersama di dalam sebuah serikat buruh. Hak buruh berserikat buruh dijamin oleh UU, sehingga tidak ada dalih untuk mencegah buruh membentuk dan menjalankan kegiatan-kegiatan serikat buruh. Pihak pengusaha juga harus menyediakan fasilitas bagi ruangan berkumpul untuk serikat buruh.
Kesembilan, dalam bekerja, buruh pasti mengalami rasa penat, lelah dan capek, sehingga dibutuhkan waktu istirahat untuk memulihkan fisik dan mental mereka. Dalam 8 jam kerja, waktu istirahatnya bisa berlangsung satu jam. Selain itu, dalam seminggu, buruh juga membutuhkan waktu libur sehari atau dua hari.
Kesepuluh, dalam bekerja, buruh harus dilindungi dari kegiatan-kegiatan kerja yang membahayakan dirinya. Setiap tempat kerja harus memiliki ventilasi yang cukup atau ruangan yang cukup bagi kesehatan buruh. Begitu juga dalam menggunakan bahan-bahan kimia, buruh harus disediakan alat pelindung agar tidak membahayakannya.
Kesebelas, bisa terjadi kecelakaan kerja di tempat kerja. Buruh bisa saja mengalami keracunan makanan atau mengalami luka ketika menjalankan kerja dengan mesin-mesin dan lainnya. Pihak pengusaha harus menanggung pengobatan bagi buruh yang mengalami kecelakaan kerja.
Keduabelas, bisa pula terjadi buruh diperlakukan sewenang-wenang di luar aturan kerja seperti memberlakukan sanksi fisik atau melakukan pelecehan dan diskriminasi seksual terhadap buruh perempuan. Masalah-masalah ini juga bisa memicu konflik terbuka.
Masih banyak lagi masalah-masalah yang muncul di tempat kerja. Tapi secara umum, buruh menghadapi masalah dengan pihak pengusaha atau penguasa tempat kerja. Masalah-masalah ini cukup dipaparkan seperti itu.

Apakah buruh perlu serikat buruh?
Sebagai golongan mayoritas di tempat kerja, buruh menghadapi berbagai masalah hubungan kerja dan perlakuan yang sewenang-wenang. Untuk memecahkan masalah-masalah hubungan kerja, tak akan dapat dilakukan sendiri-sendiri, melainkan secara bersama-sama. Untuk memecahkan masalah bersama-sama ini berarti buruh mulai membutuhkan organisasi di tempat kerja. Organisasi ini biasa dinamakan serikat buruh.
Pertama, kebutuhan buruh akan sebuah serikat buruh bertujuan memperjuangkan dan memenangkan kepentingan-kepentingan tertentu buruh dalam hubungannya dengan pengusaha. Misalnya, memenangkan kenaikan upah dan tunjangan atau perbaikan kondisi kerja.
Kedua, serikat buruh diperlukan selain alat perjuangan, juga untuk meningkatkan keterampilan buruh dalam berorganisasi. Mereka dapat berkumpul, membahas masalah secara bersama, mengadakan pelatihan, membuat terbitan, penelitian, mengkomunikasikan masalah-masalah, serta meningkatkan solidaritas sebagai golongan senasib sepenanggungan. Serikat buruh menjadi alat perjuangan buruh secara langsung di tempat-tempat kerja.
Ketiga, buruh memerlukan serikat buruh juga dapat digunakan untuk menjalin hubungan dengan serikat-serikat buruh dan organisasi lainnya di luar tempat kerjanya baik secara sektoral maupun non-sektoral. Mereka dapat mengembangkannya menjadi hubungan kerjasama agar meningkat ke tingkat kota, wilayah dan kemudian tingkat nasional dan sampai tingkat internasional. Dengan cara inilah buruh dapat membangun solidaritas yang lebih luas.

Bagaimana membentuk serikat buruh?
Serikat buruh jelas bukan organisasi pengusaha. Karena pengusaha sudah punya organisasinya sendiri, yakni perusahaan. Bahkan dengan sesamanya, pengusaha membentuk asosiasi-asosiasi seperti Apindo (Asosiasi Pengusaha Indonesia). Secara sektoral, pengusaha punya organisasi seperti API (Asosiasi Pertekstilan Indonesia). Jadi, serikat buruh benar-benar organisasi buruh.
Bagaimana caranya membentuk serikat? Pertama, buruh harus berkumpul dan menyampaikan usulan untuk membentuk serikat. Pengusaha tidak dibenarkan ikut campur dalam pembentukan serikat buruh. Setelah berkumpul dan menyampaikan usulan, buruh-buruh yang berada di tempat kerja ini menyatakan kesepakatannya dan membentuk panitia.
Kedua, buruh harus menyelenggarakan pemilihan pengurus (pimpinan) serikat buruh yang hendak dibentuknya. Selain pengurus, buruh juga dapat memilih anggota yang duduk dalam majelis anggota sebagai wakil anggota serikat buruh yang akan menjalankan fungsi pengawasan terhadap jalannya serikat buruh.
Ketiga, serikat buruh yang dibentuk dan dideklarasi itu, juga harus dibuat Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga, sehingga aturannya jelas bagi anggota-anggota serikat yang telah memilih pengurus dan majelis serta bagi anggota serikat, termasuk besar iuran anggota dan cara penarikannya serta mengatur Rapat Anggota secara berkala.
Keempat, pengurus serikat buruh harus menyusun rencana program dan kegiatan-kegiatannya untuk disampaikan rencana ini kepada anggota-anggota serikat. Dengan adanya program dan kegiatan, fungsi serikat buruh dapat berjalan untuk para anggota dan buruh-buruh yang belum menjadi anggotanya.
Cara pembentukan dan pelaksanaan serikat buruh seperti itu adalah demokratis. Karena serikat buruh adalah organisasi dari, oleh dan untuk buruh.

Diskusi
  1. Apa yang Anda ketahui tentang perusahaan dan tempat kerja lainnya? Masalah-masalah apa saja yang muncul di tempat-tempat kerja? Dapatkah diidentifikasi dengan tepat masalah-masalah tersebut? Dapatkah dipilah mana yang prioritas?
  2. Bagaimana pemilik perusahaan dan penguasa tempat kerja mengatur dan mengorganisasikan buruh-buruh yang bekerja? Berapa banyak buruh yang diorganisasikan pengusaha di tempat kerja Anda? Bagaimana keadaan buruh-buruh di situ?
  3. Apakah buruh merasa perlu mengorganisasikan diri sendiri di tempat kerja? Bagaimana caranya membentuk sebuah serikat buruh? Dapatkah serikat buruh Anda berfungsi dalam mengorganisasikan dan memperjuangkan kepentingan buruh? Apakah semua buruh menjadi anggota serikat? Mengapa masih banyak buruh yang enggan menjadi anggota?
  4. Dapatkah buruh membangun serikat buruhnya yang kuat? Bagaimana caranya membangun serikat buruh yang kuat? Apakah buruh dapat mempelajari cara-cara dan teknik-teknik pembangunan serikat buruh yang kuat? Dari manakah sumber-sumber pelajaran itu diperoleh?
  5. Apakah serikat buruh dihidupi oleh anggota? Berapa iuran per bulan yang ditarik dari anggota? Apakah iurannya lancar? Dapatkah dari iuran ini serikat buruh menjalankan kegiatan-kegiatan bagi kepentingan buruh? Apa saja kegiatan-kegiatan yang dibutuhkan buruh

Jurnal Kajian Perburuhan SEDANE

Pengarang : lembaga Informasi Perburuhan Sedane
Penerbit : Lembaga Informasi Perburuhan Sedane
No : SPPT.0236-DP-0212









Jurnal Sedane kali ini menurunkan tiga gagasan utama, yakni; 1) strategi triangulasi solidaritas gerakan buruh yang ditulis Dae-Oup Chang. Penulisnya menekankan pentingnya membangun kembali solidaritas gerakan buruh antarnegara. Dalam tulisan ini diperlihatkan bahwa triangulasi solidaritas merupakan kebutuhan gerakan buruh dan “… [M]enjadi semakin mendesak melihat perkembangan terkini dari semakin mudahnya perpindahan modal dari satu negara ke negara lain sebagai respons terhadap munculnya perlawanan buruh di suatu negara,” kata penulisnya.


2) Mengangkat tema persoalan kemiskinan di sektor perkebunan. Penulisnya, Abu Mufakhir mengangkat studi kasus industri kebun teh di Jawa Barat, yang telah mereproduksi kemiskinan di tengah berbagai keuntungan yang diraih oleh industri teh internasional. Menurut Abu Mufakhir, “…Kemiskinan yang dialami oleh buruh perempuan bersumber dari upah mereka yang murah, dan status kerja mereka yang informal, mencerminkan tidak terdistribusinya nilai ekonomi dan sosial yang dihasilkan dari produksi teh secara adil dan merata, terhadap buruh perempuan pemetik.”
Dari tulisan Abu Mufakhir, tampak bahwa organisasi buruh tidak hadir untuk mengatasi berbagai kesulitan yang dialami buruh-buruh perkebunan. Tulisan ini mencerminkan bahwa gerakan buruh pasca-Orde Baru perlu melihat kembali situasi organisasi buruh kebun yang terpinggirkan dari dinamika buruh perkotaan.
3) Artikel yang ditulis oleh Tommy Ardian Pratama mengenai perlindungan sosial transformatif. Penulisnya memetakan ragam perlindungan sosial yang biasa dijalankan di berbagai negara, khususnya Indonesia. Ia mengajukan kritik teoretis terhadap konsep perlindungan yang telah dipraktikkan di Indonesia, yang lebih bersifat karitatif, komersial dan tidak memberdayakan kekuatan produktif.
Dalam rangka memajukan tradisi diskusi dan diskursus mengenai jaminan sosial, rubrik Dialog kali ini menurunkan dua pandangan mengenai jaminan sosial. Dua pandangan tersebut, pada dasarnya memiliki kesamaan bahwa negara semakin menjauh dari tanggung jawab utamanya dan perlunya kontrol publik terhadap kekuasaan negara.

Di rubrik Sosok, kami menurunkan kisah buruh yang hidup di berbagai zaman. Artikel ini ditulis oleh Jafar Suryomenggolo. Sosok yang ditampilkan di sini adalah Moenadi, seorang yang hidup di zaman Belanda, masa Kemerdekaan dan masa Despotik Soeharto. Mungkin Moenadi adalah satu-satunya buruh di Indonesia yang menuliskan kisah hidupnya dari perspektif orang biasa. Kisah perjalanan hidupnya itu merupakan rekaman memori bangsa yang berjuang untuk menjadi diri sendiri yang sejati. Moenadi mengalami perubahan-perubahan sosial dalam periode-periode penting perjalanan bangsa.

Di rubrik Tinjauan Buku, Syarif Arifin memetakan dan mengomentari sebuah buku yang ditulis oleh mantan Menteri Perburuhan Era Soekarno, Iskandar Tedjasukmana. Buku yang bertema watak politik serikat buruh di tahun-tahun 1950-an tersebut menceritakan mengenai kencenderungan ideologi dan politik serikat buruh serta faktor-faktor yang memengaruhinya. Menurut peninjau buku, kelemahan-kelemahan yang terdapat dalam buku tidak mengurangi nilai historis dan substansinya, apalagi di tengah langkanya referensi perburuhan di Indonesia. Dari buku tersebut, terdapat pengalaman berharga bahwa organisasi buruh di Indonesia merupakan elemen aktif untuk membangun nasion Indonesia.

Di rubrik dinamika perburuhan, kami menyajikan analisis perburuhan dalam konteks ekonomi politik kontemporer. Analisis ini diharapkan dapat memotret hambatan dan peluang yang sedang dihadapi oleh gerakan buruh. Dinamika perburuhan kali ini memperlihatkan arah kebijakan negara semakin jauh dari harapan kaum buruh. Kapital asing difasilitasi dan dialirkan ke wilayah-wilayah yang jauh dari kontrol gerakan buruh, yakni wilayah Indonesia timur. Sementara itu, kendati gerakan buruh menemukan berbagai taktik perlawanan masih terkonsentrasi di Pulau Jawa. Tampaknya, hal inilah yang luput dari pengamatan organisasi buruh, tentang pentingnya memperluas wilayah pengorganisasian dan meningkatkan kapasitas politik

Senin, 10 Desember 2012

Ratusan Sungai Bergabung Menjadi Sumudra(The Dancing Leader) Hening Mengalir Bertindak

Pengarang : Jusuf Susanto
Penerbit : Kompas
No : SPPT.0325.DP-0409









Globalisasi yang diharapkan bisa menyatukan umat manusia melalui ilmu pengetahuan, ekonomi, politik, pertahanan dan keamanan bersama, malah membuat diversity semakin deras.
Terjadi emansipasi di semua aspek kehidupan. Siapa yang gagal mengelola Unity in diversity akan ditinggalkan dan menjadi part of the problemperadaban masa depan.
Seperti yang diajarkan oleh orang bijak di zaman dulu : ” Ketika berkata-kata ingat akan perbuatan – ketika berbuat ingat akan kata-kata” (Konfusius). Menari di mana pun berada “Di depan memberi Teladan – Di tengah membangun Inisiatif – Dibelakang memberi Dukungan” (Ki Hadjar Dewantara)
Buku ini perlu dibaca oleh pelajar dan mahasiswa, guna memberdayakan kekuatan nalar individual dan orang-orang terpelajar, untuk mencapai perubahan yang lebih baik di masa depan tanpa akhir.

Jumat, 07 Desember 2012

Syukur Tiada Akhir jejak langkah Jakob Oetama

Pengarang : Rt Sularto
Penerbit : Kompas
No : SPPT.0234-DP-0409







JAKARTA, KOMPAS.com - Dalam peringatan hari ulang tahunnya yang ke-80 di Bentara Budaya Jakarta (BBJ), Selasa (27/9/2011), Jakob Oetama meluncurkan buku berjudul "Syukur Tiada Akhir". Buku ini berisi tentang kisah hidup Jakob yang menyampaikan pesan pergulatan tentang pekerjaan wartawan dan kehidupan pribadinya.
ST Sularto, penulis buku ini, mengaku awalnya diminta untuk menuliskan memoar dan bukan otobiografi pada bulan Mei lalu. Dia pun memulainya dengan mengumpulkan bahan tertulis dan mengunjungi sejumlah tempat yang menjadi saksi kehidupan seorang Jakob, termasuk pusara Romo Sanjaya di Muntilan, yang menurut Sularto, menjadi salah satu tempat impian Jakob untuk dikunjungi saat ini.
Ia mengatakan buku setebal 659 halaman ini menjabarkan perjalanan penulis yang dikenal produktif dan memiliki talenta intuisi intelektual, reflektif, visioner, dan bernuansa ini. Setelah Jakob menolak penggunaan kata 'saya' dalam rancangan awal tulisan yang dibuatnya, Sularto pun menyadari bahwa buku ini menjadi catatan penulis.
"Dimulai dari titik balik yang mengubah hidup dan perkembangan Kompas Gramedia dan refleksi pengalaman atas kelahiran sang pemula Intisari dan sang pengibar benderaKompas berikut manajemen yang berinti pada bisa ngemong, pemikiran-pemikiran sosial kemasyarakatan, rentangan antara tahun 1960 sejak dia masih di Penabur sampai 2011," katanya dalam peluncuran buku.
Menurut Sularto pula, dalam buku ini muncul pula pemikiran-pemikiran yang mendasari pemikiran Jakob, misalnya Max Weber dan Fukuyama. Pemikiran ini menginspirasi Jakob untuk bertanya bagaimana mengenal Tanah Air dengan baik dan bagaimana negara ini maju kalau tidak bersatu. Intinya, pengalaman hidup Jakob dirangkum dalam satu kata, syukur.
"Syukur tiada akhir, tiga kata yang sering diucapkan lima tahun belakangan ini oleh Pak Jakob. Biasanya diucapkan dalam satu tarikan nafas dengan kata terima kasih. Semua terselenggara berkat penyelenggaraan Allah semata, Providencia Dei," ungkapnya.
Jakob lahir di Jowahan, Borobudur sebagai anak seorang guru sekolah rakyat. Sempat mengenyam pendidikan seminari untuk mengejar cita-citanya menjadi pastor, namun kemudian menekuni dunia mengajar. Setelah itu, Tuhan mengarahkannya menjadi wartawan hingga menjadi pengusaha.
Karirnya di dunia jurnalistik dimulai dari menjadi redaktur di majalah Penabur. Hingga pada tahun 1963, Jakob mendirikan majalah Intisari bersama PK Ojong, menyusulKompas pada tahun 1965 dan unit-unit usaha lainnya.
Sebagai seorang wartawan, Jakob tidak pernah membiarkan dirinya selesai merasa resah. Dia selalu berusaha menggugat dalam profesinya sebagai jurnalis dan juga sebagai pribadi dengan selalu berusaha menjembatani nilai-nilai agama dan kehidupan nyata. Caranya? Jakob selalu menggoyang-goyangkan diri agar tidak merasa mapan dan senantiasa tidak pernah lelah berpikir.
Seperti dikatakannya, "Kemanusiaan yang beriman yang beliau selalu tekankan dari pergulatan batin Pak Jakob. Buku ini mengesankan terutama pada Bab 7 di mana Beliau sebut bahwa beriman selalu dibentur-benturkan dengan realitas. Yang namanya wartawan itu akan selalu hidup kalau dia selalu resah, selalu menggugat bahwa dia selalu tidak akan merasa mapan, bahwa dia akan selalu menggoyang-goyangkan diri agar tidak merasa mapan," tandas Sularto.

Bisnis Sosial (Sistem kapitalisme yang memihak kaum miskin)

Pengarang : Muhamad Yunus
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama
No : SPPT.0233-DP-0409









Setiap manusia yang dilahirkan ke dunia dilengkapi dengan dua dimensi. Selain memiliki keinginan untuk mengurus diri sendiri, sebagai mahluk sosial, manusia juga memiliki keinginan untuk memberikan sumbangan kepada kesejahteraan dunia.
Kelemahan paling besar dalam teori kapitalisme terletak dalam penjabarannya yang menyesatkan soal ciri dasar manusia. Dalam penafsiran saat ini terhadap kapitalisme, manusia yang terjun ke dunia usaha digambarkan sebagai mahluk satu dimensi yang memiliki tujuan tunggal memaksimalkan keuntungan untuk pemenuhan kebutuhan dirinya sendiri.
Pandangan tentang ciri dasar manusia yang terdistorsi itu merupakan kekurangan fatal yang membuat pemikiran ekonomi kita tidak lengkap dan tidak akurat. Dari waktu ke waktu, pandangan terdistorsi tersebut telah membantu menciptakan sejumlah krisis yang kita hadapi dewasa ini. Regulasi pemerintah, sistem pendidikan, struktur sosial, semua didasarkan pada asumsi bahwa hanya motivasi-motivasi egois yang dianggap “nyata” dan pantas diberi perhatian, akibatnya kita mengandaikan bahwa bisnis-bisnis berorientasi laba adalah sumber utama kreativitas manusia dan kemudian tujuan-tujuan keuntungan pribadi dianggap sebagai pendorong kemajuan.
Begitu kita menyadari dan mengakui kekurangan itu dalam struktur teoritis kita, solusinya akan menjadi jelas. Kita harus menggantikan pribadi satu dimensi dalam teori ekonomi dengan pribadi multidimensi—pribadi yang secara bersamaan memiliki kecenderungan untuk egois dan kecenderungan untuk peduli kepada orang lain. Ketika kita melakukan ini, gambaran kita tentang dunia bisnis langsung berubah. Kita melihat kebutuhan untuk dua macam kegiatan usaha; yaitu untuk keuntungan pribadi, dan untuk membantu orang lain. Jenis kegiatan usaha yang dibangun di atas ciri dasar manusia yang tidak egois disebut “bisnis sosial”. Inilah yang kurang dalam teori ekonomi kita.
Bisnis sosial berbeda sekali dengan bisnis yang memaksimalkan laba yang ditampilkan praktis oleh semua perusahaan swasta di dunia saat ini, maupun oleh organisasi nirlaba yang mengandalkan sumbangan atau dana amal dari para dermawan. Bisnis sosial berada di luar dunia peraihan laba. Sasarannya adalah memecahkan masalah social dengan menggunakan metode bisnis.
Bisnis sosial terdiri atas dua macam. Pertama adalah perusahaan tanpa rugi, tanpa deviden yang diabdikan untuk memecahkan masalah sosial dan dimiliki oleh investor-investor yang menginvestasikan kembali semua keuntungan untuk mengembangkan bisnis. Yang kedua adalah perusahaan pencari laba yang dimiliki oleh penduduk miskin dimana laba yang mengalir bertujuan mengentaskan kemiskinan, Grameen Bank adalah sebuah contoh bisnis sosial ini.
Muhammad Yunus adalah seorang tokoh pembaharu dalam bidang ekonomi yang sangat fokus terhadap permasalahan kemiskinan. Menurutnya, Kapitalisme menyimpan banyak kekurangan—kapitalisme selalu berpihak pada kelompok atau orang yang memiliki capital atau modal, kapitalisme tidak pernah berpihak kepada penduduk miskin. Berawal dari gagasan itulah Yunus berusaha membangun sebuah lembaga keuangan yang berpihak pada kaum miskin. Dia telah mendirikan sebuah bank bernama Grameen Bank yang artinya ‘Bank Pedesaan’. Grameen Bank yang didirikan oleh Yunus telah menunjukkan bahwa meminjamkan uang kepada masyarakat miskin tidak hanya memungkinkan tetapi juga menguntungkan.
Grameen Bank berdiri pada awal era tahun tujuh puluhan, yaitu ketika Negara Bangladesh berada dalam keadaan yang menyedihkan. Kehancuran telah melanda karena serangan angaktan bersenjata Pakistan—diperparah dengan banjir, kekeringan, dan angin ribut. Bencana kelaparan dan wabah penyakit pun menyusul. Dalam upaya menolong rakyat Bangladesh ketika itu, Yunus memulai usahanya dengan menawarkan diri menjadi penjamin untuk pinjaman-pinjaman bagi masyarakat miskin, yang kemudian pada akhirnya dia mendirikan bank sendiri untuk kaum miskin dengan bantuan menteri keuangan Bangladesh. Kini, Grameen Bank menjadi sebuah bank berskala nasional yang melayani masyarakat di setiap desa Bangladesh.
Di antara delapan juta peminjam di Grameen Bank, 97 persennya adalah perempuan. Pada mulanya itu merupakan sebuah bentuk protes terhadap bank konvensional yang menolak meminjamkan uang kepada perempuan, bahkan jika mereka termasuk dalam kelompok berpendapatan tinggi. Yunus melihat bahwa perempuan memiliki dorongan lebih kuat untuk mengatasi kemiskinan. Dia menyadari bahwa meminjamkan uang kepada perempuan di pedesaan miskin Bangladesh adalah cara yang lebih berdaya guna dalam memerangi kemiskinan di masyarakat secara keseluruhan.
Grameen Bank meminjamkan lebih dari 100 juta dolar per bulan dalam bentuk pinjaman tanpa agunan rata-rata sekitar 200 dolar. Tingkat pembayaran kembali pinjaman-pinjaman itu tetap sangat tinggi, sekitar 98%. Grameen Bank bahkan meminjamkan uang kepada kaum pengemis, mereka menggunakan pinjaman itu untuk berjualan kecil-kecilan. Selama empat tahun sejak program tersebut diluncurkan, lebih dari 18.000 orang telah berhenti mengemis. Grameen Bank juga mendorong anak-anak peminjamnya bersekolah, menawarkan pinjaman terjangkau kepada mereka untuk menempuh pendidikan lebih tinggi.
Buku ini menguraikan tentang bagaimana menciptakan sebuah gagasan baru kapitalisme dan sebuah bentuk badan usaha yang didasarkan pada kepedulian terhadap sesama. Buku ini menunjukkan bagaimana bisnis sosial telah menjadi praktik yang inspiratif, diadopsi oleh perusahan-perusahaan terkemuka di dunia termasuk BASF, Intel, Danone, Veolia, dan Adidas, dan juga para entrepreneur dan aktifis sosial di Asia, Amerika Selatan, Amerika Serikat, dan Eropa.
Dalam buku ini Yunus memperlihatkan bagaimana bisnis sosial bisa mengubah kehidupan. Dia juga menawarkan panduan praktis untuk mereka yang ingin menciptakan bisnis sosial; menerangkan bagaimana kebijakan publik dan perusahaan harus memberi ruang bagi model bisnis sosial dan menunjukkan bagaimana bisnis sosial memiliki potensi untuk mengisi celah yang gagal dipenuhi oeleh perusahan pasar bebas.
Penulis merupakan seorang genius yang telah mempelopori kredit mikro dan berhasil memenangkan Hadiah Nobel Perdamaian 2006 bersama Grameen Bank yang didirikannya. Buku ini tidak hanya inspiratif, namun juga sangat informatif karena didalamnya juga dijelaskan studi kasus yang bagus tentang bagaimana mengelola bisnis dengan cara yang benar. Oleh karena itu, buku ini sangat direkomendasikan untuk dibaca oleh para pengusaha, aktifis sosial, aparat pemerintah, pemerhati bisnis, pelajar, atau siapa pun yang memiliki kepedulian terhadap masyarakat.

Jumat, 02 November 2012

Pekalongan 1830-1870,Transformasi Petani Menjadi Buruh Industri Perkebunan

Pengarang : LWG
Penerbit : LWG
No : SPPT.0231-DP-0409







1870: Transformasi Petani Menjadi Buruh Industri Perkebunan Edi Cahyono’s experiencE Pekalongan 1830-1870: Transformasi Petani Menjadi Buruh Industri Perkebunan Edi Cahyono Modified &. industri yang khas kolonial, pabrik onderneming–gula. Sebuah proses perubahan sosial yang perlahan tetapi pasti menyergap kaum tani Jawa untuk menjadi buruh. Tulisan ii v viii 1 Bab II: Industri Gula Di Jawa Industri Gula Ommelanden-Batavia Industri Gula Pamanukan-Ciasem Pencanangan Politik-Ekonomi Cultuurstelsel.

Hak Mogok Manual Serikat buruh

Pengarang : Trade Union Right Centre
Penerbit : Trade union Right Centre
No : SPPT.0230-DP-0409

Selasa, 30 Oktober 2012

Pembekuan peran GENDER ,Dalam Kebijakan-Kebijakan Di Indonesia

Pengarang : Lisa Hadis & Sri Wiyanti Eddyono
Penerbit : Lbh Apik Jakarta
No : SPPT.0229-DP-0409









Konstuksi Sosial GENDER di Pesantren ,Studi Kuasa Kiai Atas Wacana Perempuan

Pengarang : Dr Erna Marmunah
Penerbit : Lkis
No : SPPT.0228-DP-0409








Pesantren sebagai salah satu lembaga pendidikan tertua di Indonesia memiliki peranan yang penting dalam proses doktrinasi keagamaan dan memiliki peran besar dalam hal sosialisasi gender. Hal ini disebabkan adanya perubahan mendasar dalam proses sosial gender yang menuju arah egaliter dan salah satunya berasal dari lingkungan pesantren.

Di lingkungan pesantren, Kiai dan Nyai memiliki peranan dalam mendistribusikan nilai-nilai luhur Islam kepada para santri pada khususnya dan masyarakat luas pada umumnya. Proses transfer berikutnya dilakukan oleh para santri sebagai garda terdepan dalam dakwah Islam yang seharusnya memiliki wacana keagamaan yang sensitif gender.

Namun pada kenyataannya, wacana terkait kesetaraan gender masih sering menjadi polemik di lingkungan pesantren. Bahkan, upaya untuk mensosialisasi ini tak jarang mendapatkan resistensi dari sebagian kalangan pesantren. Hal ini dikarenakan anggapan bahwa gender merupakan produk Barat yang berkembang tidak sesuai dengan ajaran Islam. Alhasil, mayoritas pesantren di wilayah Indonesia masih tetap mempertahankan nilai-nilai gender tradisional yang sebagian  besar bersumber pada kitab-kitab klasik karangan ulama terdahulu. Adapun kajian dalam kitab-kitab tersebut masih mengadopsi nilai-nilai lama yang mengedepankan superioritas laki-laki sehingga posisi wanita seolah-olah termarginalkan (subordinasi).

Islam sebagai agama rahmatan lil’alamin memberikan apresiasi tinggi kepada wanita. Segala hal yang berusaha menyudutkan wanita baik marginalisasi, diskriminasi, ataupun subordinasi tidak pernah lahir dari ajaran Islam. Justru perlu adanya rekonstruksi terhadap pemahaman yang kabur mengenai konstruksi gender terutama di lingkungan pesantren.

Gender dapat dipandang mendobrak pola relasi yang selama ini sudah mengakar dalam Islam terutama wacana gender di lingkungan pesantren. Dengan demikian bisa dipastikan pemahaman gender di pesantren cenderung banyak menggunakan pemikiran gender tradisional yang memandang relasi perempuan dan laki-laki akan berjalan dengan sendirinya berpedoman pada ajaran teks klasik. Padahal, harus disadari ajaran yang terkandung selama ini masih menempatkan laki-laki pada posisi superior dan perempuan cenderung tersubordinasi. Oleh karena itu, menurut buku ini salah satu upaya mereposisi wacana gender di pesantren harus dimulai dari pola relasi para pengasuh pesantren yang setiap saat berhubungan dengan para santri.

Begitu pun dalam kitab-kitab dan kurikulum yang diajarkan kepada para santri. Pemahaman yang mendalam dari para pendidik akan berdampak jangka panjang berupa pembentukan karakter yang sadar gender. Semua hal yang meminggirkan dan mendiskriminasikan perempuan harus adanya kajian mendalam dalam upaya merekonstruksi pemahaman gender dalam Islam di lingkungan pesantren secara menyeluruh.

Buku bertajuk “Konstruksi Sosial Gender di Pesantren, Studi Kuasa Kiai atas Wacana perempuan” ini berusaha memaparkan tentang peranan para Kiai dan Nyai dalam pembentukan diskursus gender dalam Islam yang dominan di lingkungan pesantren dan secara kuat mempengaruhi pandangan para santri mengenai isu gender dalam Islam. Sebagai pelaku utama, Kiai dan Nyai memiliki pengaruh terkuat dalam transfer informasi dan ajaran agama yang mengandung pesan bermuatan gender selain sebagai panutan dalam hal perilaku keseharian.

Buku ini terbagi dalam enam pokok bahasan, hasil disertasi Dr. Ema Marhumah mengupas tuntas tentang pola sosialisasi gender di dua pondok pesantren yaitu Pondok Pesantren Al Munawwir sebagai representasi pesantren salaf dan Pondok Pesantren Ali Maksum sebagai representasi pondok modern. Dalam bab ketiga dipaparkan siapa saja agen sosialisasi gender di pesantren, mulai dari para Kiai sampai pada teman sebaya para santri. Tak lepas dari alur yang telah ada, peran, metode dan media dalam sosialisasi gender di pesantren menjadi bagian menarik dengan adanya klimaks ketegangan dalam proses sosialisasi gender di pesantren.

Kajian mengenai sosialisasi gender di pesantren ini menyajikan gambaran komprehensif tentang diskursus dan konstruksi sosial gender di pesantren dimana para pemimpin pesantren terbukti memiliki andil paling signifikan dalam upaya konstruksi peran sosial gender tradisional. Terbitnya buku ini memberikan sumbangan penting bagi arus kuatnya pemahaman gender di tanah air.

Senin, 29 Oktober 2012

Penghancuran PKI

Pengarang : Olle Tornquist
Penerbit : Komunitas Bambu
No : SPPT.0227-DP-0409








Buku ini dicap sebagai “bacaan berbahaya” sejak pertama kali terbit dalam bahasa Swedia 30 tahun lalu. Tetapi sebagai karya daya tariknya bukan hanya pada bagaimana kekuasaan Orba begitu takut pada buku ini, melainkan cara Olle Tornquist menempatkan pokok pembahasan atas Peristiwa G30S 1965.

Tornquis mengupas persoalan yang hampir tidak pernah dicermati dengan sungguh-sungguh di dalam karya-karya para peneliti maupun pelaku peristiwa G30S 1965. Apakah yang menyebabkan PKI gagal dan apa saja dampak dari kegagalan itu bagi Indonesia? Apa penyebab para pemimpin PKI terlibat dalam G30S, apakah cuma sial dan keliru langkah seorang Aidit belaka atau itulah buah pilihan jalan PKI untuk menyingkirkan “strategi borjuis” seraya menggenjot partai memobilisasi petani? Apakah Aidit mengkhianati partai dan terlibat petualangan rahasia serta elitis? Apakah PKI terlalu doktriner sehingga melakukan kesalahan membaca kondisi yang kemudian mudah dihancurkan dan sejauh ini gagal bangkit kembali?
G30S berdampak panjang dan sangat mahal bagi Indonesia. Setelah 1965/1966, pengumpulan keuntungan melalui pemerasan produsen dan pedagang kecil menjadi sangat kejam dan didukung negara. Ini membuat akhirnya bukan tuan tanah dan kapitalis swasta saja yang menjadi musuh utama rakyat negeri agraris, tetapi juga negara. Tidak adanya kesempatan kaum nasionalis untuk memperkaya diri lewat usaha-usaha kapitalis memunculkan strategi baru, yaitu menggunakan kekuasaan dan jabatan untuk mengontrol kegiatan-kegiatan bisnis. Sejak 1950-an, perusahaan-perusahaan fiktif—sesuatu yang dilanjutkan Orde Baru—adalah hal yang jamak di Indonesia. Korupsi dan hubungan bisnis karena kepentingan dan hubungan pribadi mendapatkan akarnya sebagian dari upaya-upaya negara dan militer memberangus PKI. Dan karena itulah buku Torquist ini tidak hanya menjadi sangat relevan bagi Indonesia masa kini, tetapi juga aktual.

Sumatera Tempo Doeloe ( Dari Marco polo sampai Tan malaka )

Pengarang : Antony Reit
Penerbit ; Komunitas bambu
No : SPPT.0226-DP-0409








Sumatera Tempo Doeloe: Dari Marco Polo Sampai Tan Malaka
Penulis: Anthony Reid
Penerbit: Komunitas Bambu, Jakarta, xxiii+423 halaman

Sumatera merupakan sebuah pulau dengan seribu satu cerita. Dari kekayaan alam yang melimpah, tempat yang strategis bagi jalur pelayaran dunia, hingga keindahan panoramanya. Dulu, pulau ini juga dikenal dengan sebutan Suvarna-Dvipa alias Pulau Emas. Tidak mengherankan bila jejak-jejak peninggalan tertua dari India, Arab, dan Cina dapat ditemukan di pulau ini.

Sejarah keberadaan Sumatera tidak sekadar menyimpan cerita indah tentang Pulau Emas. Di balik itu, tersurat pula sejarah berdarah tentang penaklukan, pertikaian internal, raja yang lalim, pemberontakan, judi, hingga kebengisan masyarakat atas dasar kepercayaan mistis. Fragmen cerita dari sisi yang berbeda itulah yang diungkap Anthony Reid dalam buku yang aslinya berjudul Witnesses to Sumatra: A Travellers' Anthology ini.

Dalam buku ini, Anthony berusaha mengumpulkan bahan dari berbagai catatan serta dokumen perjalanan beberapa pengelana yang pernah menjejakkan kaki di Sumatera. Hasilnya cukup mencengangkan. Tengok saja catatan perjalanan Marco Polo yang menginjakan kaki di tanah Sumatera pada 1290-an.

Dalam catatannya, Marco Polo mengungkapkan, orang Sumatera Utara adalah suku pemakan manusia, kanibal. "Saya berani bersumpah, mereka memakan daging manusia dan jenis daging-daging lain, baik bersih maupun kotor... mereka bahkan menyantap semua sumsum dalam tulang orang itu," tulis dia, seperti dikutip Reid.

Marco Polo bukan satu-satunya orang yang mengungkapkan ihwal kanibalisme itu. Pun demikian dengan Francois Martin, seorang pedagang asal Prancis pada 1602. Ia mengungkapkan bahwa orang-orang Pidie, Aceh, juga merupakan suku yang suka memakan daging manusia. "Mereka memakan dagingnya dengan lada dan lebih suka memakan orang kulit hitam daripada orang putih," tulis dia.

Cerita dalam buku ini bukan saja sebatas kanibalisme. Kisah raja yang lalim juga menghiasi sisi kelam pulau paling barat Indonesia ini. Itu terlihat dari catatan perjalanan navigator asal Inggris, John Davis (1955). Raja Aceh, Sultan Alau'ddin Ri'ayat Syah al-Mukammil, terekam sebagai sosk seperti itu. Menurut Davis, sang sultan tidak segan-segan membunuh rakyatnya yang tidak taat pada hukum yang ia buat.

Sultan Alau'din tidak akan membuat para penentangnya mati dengan cepat. Hukuman yang ia jatuhkan adalah memotong tangan dan kaki mereka, lalu membuang mereka ke Pulau Polowey (Pulau We). Bila ia menjatuhkan hukuman mati, caranya dengan melemparkan mereka ke sekumpulan gajah. Sosok Sultan Alau'din juga digambarkan layaknya Bacchus, dewa yang gemar pesta-pora dalam mitos Romawi.

Buku ini terkesan memojokkan keberadaan Sumatera, dengan cerita yang cenderung mendiskreditkan. Dan, Reid menyadari betul hal ini. Ia mengungkapkan bahwa kumpulan catatan dalam buku ini merupakan wujud keingintahuan orang Barat yang terkadang tidak simpatik terhadap masyarakat yang membentuk Sumatera. Karena itulah, ia mengakui, buku ini bukanlah catatan tentang Sumatera yang terobservasi secara koheren.

Hal senada diungkapkan Dewi Anggraeni, penyunting buku ini. Ia menyarankan agar pembaca mengambil jarak antara Sumatera sebagai realitas dan Sumatera sebagai wacana yang dituliskan oleh para penulis Barat. "Sebab, kalau kita membaca buku ini, akan ada perasaan tidak enak. Karena ada banyak stereotipe yang diungkapkan secara gamblang. Hal ini dapat memicu kontroversi," katanya.

Basyrai Hamidy Harahap, sejarawan asal Sumatera, justru berpendapat sebaliknya. Untuk dapat memahami masyarakat Sumatera, pembaca disarankan tidak mengambil jarak yang cukup jauh. Ia menceritakan, semasa kecil, ia masih mendengar kabar adanya pembantaian yang mengatasnamakan suku. Jadi, ia merasa, tidak ada bedanya sikap orang Sumatera ketika ia kecil dengan sikap orang Sumatera berabad-abad silam.

Terlepas dari kontroversi cerita tentang Sumatera itu, buku ini tetap menyajikan sesuatu yang layak dibaca. Dengan alur dan penggunaan bahasa yang enak dibaca, Reid berhasil merangkai catatan-catatan lepas para pengelana itu menjadi sebuah cerita yang utuh.

Rabu, 24 Oktober 2012

Kemaharajaan Maritim Sriwijaya & Perniagan dunia ( Abad III - Abad VII )

Pengarang : O.W.Wolter
Penerbit : Komunitas Bambu
No : SPPT.0225-DP-0409








Penulis buku ini, O.W. Wolters, selain mempelajari keruntuhan Sriwijaya yang dihubungkan dengan bagian awal sejarah Melayu, juga menghasilkan sebuah studi masa awal kemaharajaan maritim tersebut, suatu karya yang sangat berharga dari seorang pionir sekaligus ahli sejarah utama Sriwijaya. -Adrian B. Lapian, Nakhoda Sejarawan Maritim Asia Tenggara-
Studi mendalam tentang Sriwijaya dari seorang pionir sekaligus ahli sejarah utamanya, OW Wolters. Kekayaan sumber dan keapikan retorika sejarah Wolters membuat buku ini akhirnya mampu tampil bukan sekadar sejarah tentang Sriwijaya, tetapi lebih luas lagi merupakan gambaran awal perdagangan laut Nusantara yang tumbuh pada abad III – VII. Termasuk pemaparan yang jembar ihwal apa saja faktor-faktor pendukung kebesarannya sehingga kemaharajaan maritim Nusantara itu jadi termasyhur di dunia.Adalah menarik semua kejayaan ekonomi niaga maritim Sriwijaya yang mendunia itu bukan oleh karena perdagangan rempah-rempah, seperti cengkih atau pala, melainkan berbagai jenis getah pohon yang memiliki kegunaan unik dalam pengobatan.

Strategi & Taktik Negoisasi

Pengarang : Ridwan Syarif Warouw
Penerbit ; Tren Team
No : SPPT.0224-DP0409

Selasa, 02 Oktober 2012

Bersatu Atau Hilang Ditelan Sejarah

Pengarang : Rekson silaban
Penerbit : Romawi Press
No : SPPT.0223-DP-0409








Pada mulanya adalah sebuah proposisi dasar: pencapaian gerakan buruh saat ini tidak sebesar kebebasannya. Serikat buruh di Indonesia sudah menikmati kebebasan yang memadai.
Namun, pada saat yang sama perjuangan buruh belum berhasil mendatangkan perubahan kualitatif yang berarti terhadap kepentingan utama buruh. Proposisi ini tentu saja tak mau mengesampingkan fakta bahwa masih ada pemberangusan serikat buruh di berbagai tempat.
Pemberangusan tak lagi dalam bentuk kebijakan negara yang sistematis menumpulkan gerakan buruh seperti pada masa Orde Baru. Perlawanan terhadap serikat buruh dilakukan secara parsial dengan modus beragam.
Tersua tiga parameter standar menilai apakah serikat buruh bermanfaat kepada anggotanya: (1) bertambahkah jumlah perjanjian kerja bersama (PKB) yang dibuat; (2) membaikkah upah dan kesejahteraan buruh, termasuk jaminan sosialnya; dan (3) apakah serikat buruh berdaya memengaruhi pemerintah dan institusi politik. 
Menyangkut parameter pertama, dari data yang tersedia, ternyata jumlah PKB dalam sepuluh tahun terakhir tak bertumbuh meski serikat buruh memiliki kebebasan luas dibandingkan dengan masa sebelum reformasi. Jumlah PKB 11.000, sama seperti masa Orde Baru. Jumlah peraturan perusahaan pun tetap 44.000. Idealnya, PKB harus lebih banyak dibandingkan dengan peraturan perusahaan.
PKB ada berarti serikat buruh telah memiliki anggota lebih dari 50 persen di perusahaan dan mampu berunding. Adapun peraturan perusahaan dibuat majikan karena serikat buruh kecil atau tidak eksis.
Upah buruh dalam beberapa tahun terakhir meningkat ratarata 8-10 persen. Namun, kenaikan itu lebih rendah dari tingkat inflasi. Laporan Bank Dunia Jakarta (Desember 2010) menyebutkan bahwa ada penurunan upah minimum 2 persen dalam 10 tahun terakhir, setelah memperhitungkan total kenaikan upah minimum dan total kenaikan inflasi.
Cakupan kepesertaan jaminan sosial juga tak bertumbuh signifikan. Daya serikat buruh memengaruhi kebijakan publik sedikit membaik, tetapi tak cukup optimal akibat fragmentasi gerakan buruh.
Adakah peluang?
Masih adakah peluang membuat gerakan buruh kuat? Atau, akankah serikat buruh perlahan hilang ditelan sejarah sebagai akibat ketakmampuan melakukan transformasi gerakan? Peluang masih ada bila saja ada skenario baru yang berbeda dengan skenario yang ada saat ini. Lima syarat untuk skenario baru ini.
Pertama, perlu pembersihan ”rumah serikat buruh”. Maksudnya, serikat buruh Indonesia harus disesuaikan dengan serikat buruh universal yang demokratis, independen, dan representatif. Itulah standar baku yang ditetapkan wadah serikat buruh dunia (ITUC) sebagai dasar penerimaan anggota afiliasi.
Demokratis berarti tata kelola organisasinya transparan, menghindari pemusatan kekuasaan, dan menjalankan rotasi kepemimpinan. Ini perlu sebab banyak serikat buruh yang tak mampu mengadakan rapat reguler, konstitusi tak berfungsi, pemimpin tak pernah berganti dari dulu sampai sekarang.
Independen berarti serikat buruh tidak dijadikan sebagai bagian kepentingan partai politik, pemerintah, bisnis, agama, dan etnisitas tertentu. Maka, serikat buruh harus mandiri secara finansial supaya jangan tergoda memanfaatkan serikat untuk kepentingan pribadi aktivis atau kepentingan partai politik.
Representatif berarti serikat buruh harus memiliki anggota yang relatif memadai sehingga dialah, dalam kamus Organisasi Buruh Sedunia (ILO), yang paling mewakili. Serikat buruh yang representatif pasti punya anggota berjumlah besar, iuran yang cukup, dan legitimasi kuat mewakili suara buruh.
Meski undang-undang memberi jaminan hukum bagi eksistensi serikat buruh kecil, dengan wilayah kerja seluas Indonesia, tidaklah mungkin serikat buruh kecil nasional mampu melayani kebutuhan anggota di seluruh wilayah. Pada saatnya serikat buruh seperti ini akan hilang, ditinggalkan konstituennya.
Kedua, perlu dibangun sebuah koalisi gerakan buruh yang kuat dan diikat dengan ikrar bersama atau manifesto. Setelah rumah buruh ”bersih” dengan menerapkan tiga prinsip di atas, serikat buruh yang sehaluan perlu menyatukan diri dengan membangun koalisi besar.
Untuk apa? Karena serikat buruh sekarang porak-poranda akibat terus terpecah. Hanya dengan menggabungkan dirilah, serikat buruh kuat dan bertahan hidup. Agar kuat, koalisi harus merumuskan ikrar, program, dan tujuan dalam sebuah dokumen resmi. Dan untuk mendapat pengakuan, koalisi ini harus memiliki minimal sejuta anggota. Jumlah ini tak terlalu muluk apabila mempertimbangkan 8 juta anggota serikat buruh saat ini. Dengan jumlah besar, koalisi diperhitungkan mitra dan lawan.
Ketiga, adanya prinsip dan pilihan ideologis koalisi yang jelas. Selanjutnya koalisi harus menerapkan pilihan ideologisnya sebagai alat perjuangan buruh. Ia tidak akan jadi, misalnya, alat perjuangan politik, kepentingan SARA, dan kesetaraan jender.
Keempat, meningkatkan kapasitas aktivis merumuskan kebijakan alternatif. Salah satu kritik terbesar terhadap serikat buruh: ia dianggap hanya mampu bereaksi, demonstrasi, tetapi tidak punya kapasitas menawarkan pilihan lain.
Gerakan buruh akhirnya kelihatan pemarah, tidak berkompromi, keras kepala, dan bodoh. Citra ini harus diubah dengan menaikkan kapasitas buruh berunding dan lobi berdasarkan analisis atau riset sendiri. Sumber daya dan dana untuk ini akan mudah diperoleh apabila ada koalisi.
Kelima, gerakan buruh sebagai gerakan sosial. Karena globalisasi ekonomi menciptakan keterkaitan dengan aktor sipil lain, serikat buruh harus kerja sama dengan lembaga masyarakat, seperti kelompok lingkungan hidup, antikorupsi, dan jender.
Peta jalan baru
Lima syarat di atas adalah peta jalan baru yang direkomendasikan untuk membuat gerakan buruh fungsional. Tidak saja untuk kebutuhan buruh, tetapi juga untuk memperkuat pilar ekonomi nasional.
Pengalaman internasional menunjukkan kehadiran serikat buruh yang kuat akan menurunkan disparitas ekonomi di suatu negara karena peran uniknya melakukan distribusi ekonomi melalui mekanisme upah minimum, PKB, dan pembagian keuntungan di perusahaan. Juga membantu perluasan cakupan jaminan sosial, mengawal buruh tak dieksploitasi, menyuarakan kepentingan kelompok marjinal (migran, buruh informal, PRT, dan buruh harian lepas).
Selama ini suara serikat buruh sering diabaikan karena dinilai bukan suara kolektif sehingga tak bisa maksimal mengatasi problem yang merugikan buruh: maraknya pelanggaran praktik tenaga lepas, buruh kontrak, kepastian dan penegakan aturan hukum, hingga pada ketidaksungguhan pemerintah menyelesaikan pemiskinan buruh Indonesia.
Serikat buruh yang sudah kuat dan memiliki jutaan anggota yang harus dijamin kesejahteraannya tidak akan pernah menghambat perekonomian nasional dan investasi, juga tak akan memicu instabilitas politik. (Rekson Silaban – Presiden KSBSI)