"kami pekerja, suka membaca"

Selasa, 02 Juli 2013

Birokrasi Dan Politik Di Indonesia

Pengarang : Prof Dr Miftah Thoha MPA
Penerbit : Rajawali Pres Jakarta
No : SPPT.0321-DP-0513
 
”Ketika kehadiran partai politik yang berupa pejabat-pejabat politik dalam birokrasi pemerintah tersebut mulai timbul, maka timbul pulalah suatu pertanyaan tentang hubungan keduanya. Pertanyaan ini sebenarnya merupakan pertanyaan klasik yang dahulu pernah dijernihkan oleh Woodrow Wilson sebagai perwujudan dari dikotomi antara politik dan administrasi”

Abstraksi diatas merupakan sebuah kutipan dari buku Prof. DR.Miftah Thoha,MPA yang berjudu Birokrasi dan Politik di Indonesia. Abtraksi mampu dalam mampu merefleksikan essiensi dari hubungan politik dan birokrasi.  Dalam hal ini, Politik dan birokrasi adalah dua hal berbeda tapi keduanya memiliki hubungan yang tidak dapat dipisahkan. Hubungan tersebut rentan melahirkan konflik sehingga hubungan keduanya kerap kali dianalogikan seperti “ hubungan benci tapi rindu”.  Hal semacam ini akan tampak jelas pada negara yang menganut sistem demokrasi seperti indonesia.
Hadirnya partai politik sebagai karakteristik negara demokratis semakin memberikan warna pada perdebatan dikotomi politik dan administrasi, dimana menurut teori demokrasi liberal kehidupan birokrasi pemerintah didominasi oleh pejabat karier yang profesional dan pejabat politik dari parpol yang mendapatkan mandat rakyat melalui pemilihan, kedua pejabat tersebut saling berinteraksi bahkan berpotensi melakukan intervensi. Kehadiran ideologi parpol dalam kehidupan birokrasi cendrung mengkontaminasi kinerja birokrasi  sebagai pelayan publik yang dituntut untuk netral. Masuknya Ideologi parpol mempengaruhi congnitive maps pejabat politik sebagai decision maker sehingga kerap kali ouput kebijakan lebih cendrung berorentasi pada kepentingan parpol daripada publik. Disamping itu, eksistensi mereka dalam birokrasi dijadikan ajang mempertahankan status quo, pasalnya birokarasi dianalogikan seperti bangunan bertingkat yang dapat menyentuh semua lapisan masyarakat sehingga dapat dijadikan ajang untuk mendaptkan voters.
 Perdebatan dikotomi politik dan birokrasi berkosekuensi logis melahirkan isu ”netralitas birokrasi” sebagai jalan tengah menjembatani problem ini, asumsinya semakin netral birokrasi maka semakin jauh dari politik. Dalam konteks ini, Weber mengemukakan ”birokrasi rasional” sebagai manefestasi netralitas birokrasi, dimana  tatanan pola hirarki otoritas menjadi salah satu kewajiban birokrasi untuk netral. Namun, ternyata pola hierarki ini cendrung melahirkan deviasi kekuasaan yang merugikan publik dan justru memperkuat kerjaaan pejabat (officialdom) khusunya di level atas (pejabat politik sebagai penguasa). Disamping itu, prespektif birokrasi Weberian yang mengamsumsikan birokrasi tercipta indepent tanpa ada intervensi kekuatan politik ternyata tidak terbukti sepenuhnya. Menurut David Beentham (1975) tipe ideal birokrasi Wiberian sebenarnya juga mengambarkan adanya faktor politik yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan birokrasi sehingga kinerja birokrasi cendrung bisa keluar dari fungsi yang semestinya, hal ini disebabkan pekerja birokrasi tidak mampu memisahkan prilaku antara kepentingan individu dan publik.  
 Maka dari itu, birokrasi Weberian akhirnya banyak mendapat kritikan. Warren Bennis (1967) menjelaskan tatanan birokrasi akan berevolusi mengikuti perkembangan masyarakat, dimana suatu saat birokrasi Weberian akan tidak berlaku lagi. Kemudian kritikan ini dipertajam oleh Lawrence dan Lorch (1967), mereka menjelaskan kunci dari survivenya birokrasi hanya terletak pada daya adaptasi terhadap perubahan lingkungan. Heckscher dan Donellon (1994) juga mengkritik hal yang sama, mereka meprediksikan birokrasi di masa depan tidak hanya berorientasi inward looking tetapi lebih onward looking, dimana powering bukan lagi menjadi alat pengendali mesin birokrasi.
Karl Marx dan Hegel juga menyoroti  konsep netralitas birokrasi. Dalam hal ini, Marx mengelaborasi konsep birokrasi dengan menganalisis dan mengkritik falsafah Hegel mengenai negara. Dalam konteks ini, Birokrasi Hegelian menjelaskan administrasi negara atau birokrasi merupakan jembatan yang menghubungkan kepentingan negara yang bersifat umum dengan kepentingan masyarakat yang bersifat khusus (the civil Society). Namun, hal ini dikritik oleh Mark. Menurut Marx, negara tidak mampu mewakili kepentingan umum akan tetapi lebih mewakili kepentingan khusus dari kelas dominan/kapitalis sehingga birokrasi cendrung menjadi instrumen kaum kapitalis untuk menbangun imperiumnya. Dan hanya melalui revolusi proletarian dan kehadiran kelas-kelas di dalam masyarakat birokrasi dan negara yang semacam itu dapat dimusnahkan.
Peran pemerintah dalam menjalankan dua fungsi sekaligus yaitu fungsi administrasi dan fungsi politik semakin memberikan warna pada sulitnya melakukan dikotomi antara birokrasi dan politik, apalagi ke dua fungsi tersebut lahir dan berkembang secara bedampingan dalam kurun waktu yang sama bersamaan dengan lahirnya  pemerintahan suatu negara. Hal ini mengakibatkan adanya hubungan ketergantungan antara keduanya yang sulit dipisahkan. Sebaliknya, hubungan keduanya justru berpotensi melakukan intervensi satu sama lain yang seharusnya berbeda arena. Dalam konteks ini, Fungsi politik tumbuh dan berkembang dalam arena konflik yang menitikberatkan pada persoalan nilai, ini mengasumsikan bahwa kelompok masyarakat pastilah memiliki nilai  (kepentingan politik) sehingga mereka akan berusaha mendekati garis otoritas agar nilai yang diyakininya dapat terwujud dan diterima oleh kelompok masyarakat lainya. Di sisi lain, fungsi administrasi lebih menitikberatkan pada arena fakta, dimana semakin pesat perkembangan masyarakat semakin memerlukan korp birokrat yang profesional, handal, penuh dedikasi, integritas dan berkomitmen tinggi guna mencapai efektivitas dan efisiensi yang merefleksikan kenyataan.  Ketika kedua fungsi tersebut mulai mengintervensi arena yang bukan haknya, maka eksistensi birokrasi pemerintah sebagai pelayan publik mulai terancam dan dipersoalkan.
 Selama ini fungsi administrasi di pemerintah Indonesia dinilai lebih tunduk pada fungsi politik. Fungsi administrasi hanya berperan sebagai pelaksana kebijakan penguasa yang jauh dari harapan rakyat, kinerja administrasi segaja dimanipulasi oleh politisi untuk mendukung bentuk penyimpangan kekuasaannya. Singkat kata, fungsi administrasi  hanya menjadi sebuah sketsa politisi untuk mempertahankan status quo pejabat politik. Padahal sebenarnya fungsi administrasi inilah yang memiliki peran cukup penting dalam mewujudkan tata pemerintahan yang baik, bersih dan bewibawa (good governance), dimana birokrat seharusnya bukan hanya menjadi pelaksana tetapi juga teribat dalam pembuatan dan evaluasi kebijakan yang memfokuskan pada kualitas pelayanan publik sehingga mampu menstimulan partisipasi publik untuk ikut mengontrol jalannya birokrasi pemerintah dan akhirnya mampu menciptakan hubungan sinirgitas antara  pemerintah, sektor swasta dan rakyat dalam posisi eqilibirium. Tentunya ke dua fungsi untuk ”netral” dalam rangka mewujudkan ”good governance” sulit terealisasikan, hal ini sangat dipengaruhi oleh aspek ”moral” atau ”kesalehan sosial” dalam diri pejabat dalam menjalankan tanggungjawabnya sebagai pelayan publik.
Dalam hal ini, intervensi fungsi keduanya juga bisa dilihat dari pola hubungan eksetutif dengan legeslatif dalam menjalankan roda pemerintahan. Eksekutif dan legeslatif jelas memiliki peran yang berbeda, tapi keduanya pasti tidak bisa terlepas dari suatu interaksi. Keduanya sama-sama berpotensi menjadi pengendali kekuasaan, adakalanya lembaga eksekutif yang memengang lokus kekuasaan tapi tidak jarang pula lembaga legeslatif yang mengendalikan kekuasaan. Hal semacam ini membuat  dikotomi politik dan birokrasi semakin ambigu. Dalam konteks ini, jika control legeslatif dikendalikan parpol terlalu tinggi maka proses politisasi juga semakin meningkat sehingga netralitas dan profesionalisme birokrasi tidak bisa terwujud.
Prinsip pemerintah demokratis yang fokus pada ”kedaulatan rakyat” mengalami kesulitan untuk menginterprestasikan dan mewadahi semua kepentingan rakyat sehingga jalan tengah yang diambil adalah ”kekuasaan moyoritas” dalam pembuatan kebijakan. Namun ternyata ini berpotensi menodai prinsip demokrasi, dimana para pembuat kebijakan (pejabat politik) lebih mudah melakukan suatu ”rekayasa” dengan mengatasnamakan rakyat untuk kepentingan kelompoknya. Dalam hal ini, Ideologi politik yang sejalan dengan demokrasi berusaha membatasi kekuasaan yang dahulunya tak terbatas. Upaya mengekang kekuasaan para penguasa ini dimanefestasikan dalam konstitusi. Maka dari itu,  dalam rangka meminimalisir ataupun intervensi politik dalam tubuh birokrasi pemerintah dituntut mampu menciptakan konstitusional yaang kuat, dimana supremasi hukum berjalan dengan semestinya tanpa ada diskriminasi sehingga hak-hak rakyat tetap terlindungi tidak dimakan oleh para penguasa.
Sistem merit yang diterapkan dalam kehidupan birokrasi juga memberikan implikasi signifikan terhadap perdebatan ”dikotomi politik dan birokrasi”, dimana sistem ini memprioritaskan profesionalisme bagi pengisian pejabat birokrasi baik untuk pejabat karier ataupun politik. Sistem ini berasumsi seorang berhak menjadi birokrat apabila sudah melewati tahapan karier yang tertib dan disiplin, artinya seorang birokrat harus memiliki pengetahuan dan pengalaman dalam perjalanan kariernya. Namun, ketika sistem demokrasi yang melahirkan pejabat politik masuk dalam jajaran kinerja birokrasi  makna eksistensi sistem ini mulai dipertanyakan. Hal semacam ini terefleksi dengan jelas dalam persolan menentukan siapa yang berhak menjabat sebagai  mentri, apakah seorang yang profesional ataukah seorang yang berpartai politik.
Dalam konteks ini, pemilihan pejabat ditingkat birokrasi sudah tidak mengindahkan sistem merit ini, siapa pun mampu memasuki lingkup birokrasi tanpa prioritas profesionalisme asalkan memperoleh mandat dari rayat ataupun dari pejabat politik yang memengang kekuasaan, seorang bisa melakukan loncatan lansung tanpa harus antri yang tertib dan disiplin untuk mendapatkan jabatan penting di birokrasi. Proses politisasi semacam ini hanya mengandalkan “loyalitas” terhadap pemegang otoritas. Tentunya hal ini rentan sekali melahirkan praktek KKN, dimana orang yang memiliki hubungan dekat (keluarga, parpol dll) dengan pejabat tinggi politik lebih mudah memperoleh jabatan yang kadangkala justru menimbulkan kecemburuan sosial bagi pejabat karier yang mengikuti prosedur perjalanan kariernya dengan tertib  sehingga mereka cendrung terpengaruh untuk mendekati kekuasaan guna terlepas dari kukungan antrian dalam memperoleh jabatan dan parahnya ini berimplikasi besar terhadap “netralitas birokrasi” yang hanya akan menjadi sebuah konsep.
       Semakin besar politisasi dalam tubuh birokrasi ini menyebabkan kesulitan dalam melakukan perbedaan atau klasifikasi antara pejabat karier dan politik.  Dalam hal ini, hubungan keduanya merupakan suatu hubungan yang konstan antara fungsi kontrol dan dominasi. Namun, kemudain muncul persoalan ” siapa mengontrol siapa dan siapa pula yang menguasi memipin dan mendominasi siapa” . Persoalan semacam ini dapat dijelaskan melalui dua perspektif pendektan:
Ø  Executive ascendancy. Pendekatan ini melihat birokrasi sebagai subordinasi dari politik. Asumsinya kepemimpinan pejabat politik didasarkan atas kepercayaan bahwa supremasi mandat tersebut berasal tuhan atau berasal dari rakyat sehingga birokrasi pemerintah hanya dianggap sebagai mesin pelaksana kebijakan politik untuk mencapai tujuan publik.
Ø  Bereaucratic sublation birokrsi. Pendekatan ini melihat posisi birokrasi  sejajar dengan politik. Dalam hal ini, Weber dan Mark menjelaskan birokrasi yang real mempunyai kekuasaan seimbang dengan kekuasaan politik, dimana pejabat birokrasi memiliki profesionalisme yang permanen dan ini menandakan kekuatan birokrat mampu menghasilkan kebijakan yang berkualitas bukan hanya menjadi pelaksana.
 
Gejalah-gejalah diatas menunjukkan bahwa faktor yang menghambat terwujudnya “netralisasi birokrasi” ternyata datang dari sistem pemerintahan itu sendiri. Maka dari itu, diperlukan langkah yang tepat untuk merestrukturisasi birokrasi pemerintah seperti : (1) merumuskan pengertian pejabat karier dan politik dengan jelas (2) melakukan identifikasi jabatan (3) penentuan batas-batas tugas, tangung jawab dan kewenangan antara ke duanya (4) penetapan hubungan kerja antara keduanya.
      Dalam konteks ini,  hakekat netralitas birokrasi mengharapkan pelayanan harus tetap berorientasi pada kepentingan publik walaupun terjadi pergeseran kekuasaan (dari parpol yang memerintah). Dalam konteks ini, Birokrasi memberikan pelayanan berdasarkan ”loyalitas profesionalisme”, bukan pada ”loyalitas politik (parpol penguasa)” .   Dunleavy dan O’Leavy  (1987) mencoba memaparkan 4 model yang dapat dipergunakan untuk mengatur birokrasi pemerintah agar terhindar dari intervensi ideologi partai politik guna mewujudkan netralisasi birokrasi. Adapun 4 model tersebut adalah sebagai berikut  :
1.      Model perwakilan konstitusional. Model ini berasumsi semua rakyat bebas berserikat dalam suatu partai politik dan rakyat  itu pula yang memilih   perwakilan dalam konstitusional. Model ini menekankan bahwa pegawai pemerintah adalah mesin birokrasi yang harus netral dari kekuatan parpol yang berkuasa. Dalam hal ini,  pejabat politik memimpin pejabat birokrasi dan pejabat birokrasi diwajibkan melayani mereka dengan syarat tidak boleh terpengaruh.
2.      Model Pluralist. Pada dasarnya essiensi model pluralist hampir sama dengan model perwakilan konstitusional. Namun, model ini juga mengasumsikan bahwa pejabat birokrasi adalah bagian dari organisasi kelompok kepentingan dalam masyarakat, mereka juga memiliki peran untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah. Dengan demikian, pengawai pemerintah dituntut netral dari pengaruh partai politik dan kelompok kepentingan lainnya kecuali kelompok kepentingan birokrasi pemerintah itu sendiri.
3.      Model otonomi yang demokratis. Model ini melihat pengawai pemerintah juga membutuhkan otonomi dalam menentukan kebijakan, namun ini tak lantas membuat mereka lepas dari kelompok kepentingan yang lain. Dalam hal ini, birokrasi pemerintah  harus memiliki preferensi tertentu  dalam pengambilan kebijakan agar bisa netral.
4.      Model new right. Model ini berasumsi bahwa kehidupan birokrasi cendrung melahirkan inefisien dan inefektivitas, dimana kepentingan politik dan kepentingan kelompok sering kali memfragmentasikan kepentingan publik. Maka dari itu, untuk menghindari hal tersebut pegawai pemerintah harus pintar memposisikan diri dan harus hati-hati dalam menentukan kebijakan  sehingga ouput kebijakan benar-benar bisa bermanfaat bagi rakyat. 
      Netralitas birokrasi di negara demokratis menjadi tantangan yang harus diwujudkan oleh civil society sebagai lembaga yang meletakan supremasi sipil (kepentingan publik) diatas kepentingan lainnya dalam menjalankan birokrasi pemerintah. Hal ini juga akan merangsang terciptanya pemerintahan yang amanah dengan kelembagaan birokrasi pemerintah yang sipilian. Dalam hal ini, civiel society telah mencoba mengubah  paradigma sebagai manefestasi langkah guna mewujudkan netralisasi birokrasi pemerintah. Adapun perubahan paradigma tersebut meliputi :
1.      Perubahan paradigma dari orientasi sistem management negara menjadi orientasi pasar
2.      Perubahan paradigma dari orientasi lembaga pemerintah yang otoriter menjadi demokrasi.
3.      Perubahan paradigma dari sentralisasi kekuasaan menjadi desentralisasi kewenangan.
4.      Perubahan manejemen pemerintahan yang berarah kepentingan nasional menjadi lebih global.
5.      Perubahan paradigma dari birokrasi weberian ke post bereaucratic goverment dan post bereaucratic organization.
6.      Perubahan paradigma dari a low trust society kearah hight trust society.

      Namun, perubahan paradigma ini tidak akan memberikan arti yang signifikan terhadap netralitas birokrasi apabila tidak mendapat dukungan sepenuhnya dari masyarakat. Masyarakat  ataupun pejabat pejabat yang berperadaban, bermoral, patuh terhadap hukum sangat diperlukan untuk mewujudkan netralitas birokrasi. Di samping itu, pemerintah harus mampu memberdayakan masyarakat dan melakukan pengembangan kelembagaan (lembaga demokrasi, lembaga hukum, dsb) yang sesuai dengan kepentingan publik. Dalam hal ini, Sumpremasi hukum diatas kekuatan lainnya menjadi kunci untuk tetap bisa melindungi hak-hak rakyat sehingga pejabat birokrasi mampu mengemban amanah yang diberikan oleh rakyat.

Senin, 01 Juli 2013

Bahasa Jurnalistik

Pengarang : Abdul Chaer
Penerbit : Rineka Cipta
No : SPPT-0320-DP-0513
 

SINOPSIS BUKU - Bahasa Jurnalistik : Panduan Praktis Penulis dan Jurnalis
Bagi para penulis dan jurnalis, bahasa adalah senjata, dan kata-kata adalah pelurunya. Mereka tidak mungkin bisa melumpuhkan kekuatan pikiran, susasana hati, dan gejolak perasaan khalayak pembaca, pendengar, atau pemirsanya, jika tidak menguasai bahasa jurnalistik dengan benar dan baik. Mereka harus dibekali dengan amunisi memadai dengan cara menguasai kosa-kata, ejaan, pilihan kata, kalimat, paragraf. gaya bahasa, dan etika bahasa jurnalistik. Jika tidak, seorang penulis atau jurnalis tidak berbeda dengan prajurit yang menyerah kalah di medan perang.

Sebagai salah satu ragam bahasa, bahasa jurnalistik senantiasa tampil ringkas dan lugas. Bahasa jurnalistik juga diisyaratkan tampil menarik, variatif, segar, berkarakter. Bahasa jurnalistik bersifat logis, dinamis, demokratis, dan populis...

Buku ini mengupas tuntas berbagai hal yang berkaitan dengan bahasa jurnalistik, yaitu fungsi utama bahasa jurnalistik, karakteristik bahasa jurnalistik, kata dan diksi jurnalistik, kaidah diksi jurnalistik, karakteristik kalimat jurnalistik, paragraf jurnalistik, ejaan dalam bahasa jurnalistik...

Buku seri jurnalistik ini diterbitkan untuk memenuhi kebutuhan para mahasiswa jurnalistik, kehumasan (public relations), ilmu komunikasi, dakwah, praktisi media massa, praktisi humas, peneliti intelektual, cendekiawan, ilmuwan, dosen, politisi, aktivitis, guru, serta siapa saja yang memiliki hasrat besar menjadi penulis dan jurnalis...