"kami pekerja, suka membaca"

Sabtu, 15 Januari 2011

The Leader In Me

KISAH SUKSES SEKOLAH DAN PENDIDIK MERAIH POTENSI TERBESAR SETIAP ANAK
Penulis                 : Stephen R. Covey
Penerbit              : Gramedia Pustaka Utama
No: SPPT.0137-DP-0409


Oleh: Judha Sinulingga
Buku The Leader in Me karya Stephen R. Covey memberikan inspirasi tentang pembenahan yang dapat dilakukan terhadap institusi sekolah. Pada dasarnya kisah-kisah yang terangkum dalam buku ini adalah kisah-kisah keberhasilan yang diraih oleh orang-orang ‘luar biasa’, yang dalam istilah Covey disebut sebagai “Pekerja Ajaib Kehidupan Modern”, dalam menerapkan pendidikan dengan pendekatan ‘kepemimpinan’. Covey sendiri mengakui bahwa rangkuman kisah-kisah tersebut secara sengaja disusun karena ia memiliki suatu komitmen yang kuat untuk turut mempersiapkan generasi yang akan datang dalam menghadapi dunia di jamannya. “Siapa lagi yang akan mengajar mereka kalau bukan Anda dan saya”, demikian dikatakan oleh Covey.
Covey mengawali paparannya dengan memperkenalkan istilah ’kehebatan utama’ dan membandingkannya dengan ’kehebatan sekunder’. Kehebatan sekunder adalah kehebatan yang berkaitan dengan pangkat/jabatan, harta kekayaan, prestasi/penghargaan, singkatnya suatu hal yang umumnya dapat segera dilihat oleh orang lain dan cenderung dibanggakan (atau disombongkan) oleh yang memilikinya. Tidak semua orang memiliki kesempatan untuk memiliki kehebatan sekunder. Sedangkan kehebatan utama adalah kehebatan yang dapat dimiliki setiap orang, yang berkaitan dengan: integritas, etos kerja, cara memperlakukan orang lain (hal. 11). Kehebatan utama berurusan dengan hal-hal seperti: karakter, bakat, kreativitas dan disiplin. Menurut Covey, kehebatan utama tidak dapat diukur dengan cara membandingkannya dengan orang lain, tetapi dengan mematuhi prinsip universal dan tanpa batas waktu. Prinsip universal yang dimaksud adalah prinsip kepemimpinan. Prinsip inilah yang akan mengantar seseorang untuk memperoleh kehebatan utama.
Bagi Covey, kepemimpinan bukanlah sebuah ’posisi’, melainkan suatu gaya hidup dalam menjalani kehidupan (hal. 14). Prinsip kepemimpinan yang dimaksud oleh Covey merupakan 7 kebiasaan, yaitu: Jadilah Proaktif; Mulai dengan Tujuan Akhir; Dahulukan yang Utama; Berpikir Menang-Menang; Berusaha Memahami Dahulu, Kemudian Berusaha Dipahami; Wujudkan Sinergi; dan Mengasah Gergaji. Covey yakin bahwa prinsip-prinsip itu bersifat universal. Ia menggarisbawahi bahwa 7 kebiasaan bukanlah ciptaannya, melainkan hasil penelitian yang dilakukannya terhadap orang-orang yang sangat efektif. Karena itu, ketika memaparkan kisah-kisah sukses beberapa sekolah dalam bukunya, Covey mengajak para pembaca untuk mencermati bahwa sekalipun penerapan di masing-masing sekolah itu berbeda, namun prinsip-prinsip dasar yang diberlakukan bersifat universal.
Selanjutnya, Covey juga memiliki asumsi bahwa setiap anak memiliki potensi yang unik dan bernilai untuk dikembangkan. Dalam setiap anak, terdapat kualitas kepemimpinan sejati (hal. 17-18). Hal ini juga dianggap bersifat universal. Sebenarnya, asumsi inilah yang mendasari penulisan The Leader in Me, bahwa dalam diri setiap anak terdapat ”Pemimpin”.
Kisah sukses beberapa sekolah dalam menerapkan prinsip kepemimpinan sengaja ditampilkan oleh Covey untuk memberikan gambaran bagaimana prinsip tersebut dapat diterapkan di tiap-tiap sekolah sesuai konteks dan kebutuhan masing-masing sekolah. Kisah utama yang diangkat adalah kisah sukses sekolah A.B.Combs Elementary yang terdapat di salah satu negara bagian di Amerika Serikat. Kisah tersebut memperlihatkan langkah-langkah yang dilakukan A.B.Combs untuk menyelamatkan diri dari ancaman kekurangan murid.
Proses pembenahan A.B.Combs dimulai dengan merumuskan suatu visi yang dapat mengakomodasi kebutuhan-kebutuhan siswa serta harapan-harapan dari para stakeholder. Dari pendekatan terhadap para stakeholder, A.B.Combs menyadari bahwa di samping keterampilan/ kemampuan, para stakeholder sangat mengharapkan adanya karakter-karakter tertentu yang harus dimiliki oleh para lulusan sekolah. Bahkan sebenarnya karakter-karakter tersebut merupakan hal paling menentukan masa depan para lulusan sekolah. Dengan mengutip buku ”good to great” karya Jim Collins, Covey mencoba menggambarkan bahwa kemampuan/keterampilan praktis memang penting namun dapat dipelajari. Sedangkan dimensi karakter, etos kerja, kecerdasan dasar, dedikasi pada komitmen dan nilai merupakan suatu hal yang lebih mendalam. Covey bahkan mengutip pendapat seorang pebisnis yang mengatakan bahwa ”keterampilan adalah alasan untuk mewawancarai seseorang. Namun, alasan untuk merekrut orang adalah karakter mereka.” (hal. 40).
Hal yang menarik adalah kesimpulan A.B.Combs bahwa karakter-karakter yang diharapkan muncul tersebut sejalan dengan prinsip kepemimpinan 7 kebiasaan. Ini yang menyebabkan A.B.Combs akhirnya mengadopsi tema ’kepemimpinan’ sebagai tema pendidikan mereka.
Hal menarik lainnya adalah pendekatan yang dilakukan A.B.Combs terhadap para pebisnis. Pendekatan tersebut menghasilkan profil lulusan sekolah yang diharapkan oleh para pebisnis. Barangkali pada bagian ini, kesan ’pragmatis’ yang dianut oleh Covey (dan sangat mungkin juga dianut oleh sekolah-sekolah yang dikisahkan oleh Covey) dapat kita rasakan. Ada kesan bahwa sekiranya sekolah mampu mencetak lulusan sesuai keinginan para pebisnis, maka para lulusan tersebut terselamatkan dari ’bahaya yang akan mengancam mereka’ di masa depan. Tentu pertanyaan berikutnya dapat muncul: apakah sekolah tidak lagi menganggap perlu memiliki suatu filosofi dasar pendidikan? Apakah tanpa sadar sekolah pun telah terjebak dalam menciptakan ’robot-robot’ sesuai ’pesanan’?
Kesan ’pragmatis’ yang kita curigai ini memang tidak sepenuhnya tergambar dari seluruh paparan Covey. Dengan pendekatan yang sedikit berbeda (tanpa mengutak-atik filosofi pendidikan), Covey juga sampai pada kesimpulan bahwa karakter, etos kerja, kecerdasan dasar, dedikasi pada komitmen serta nilai merupakan suatu hal yang sangat penting dalam kehidupan, atau disebut ’Kehebatan Utama’.
Dalam implementasinya, sekolah berhadapan dengan pertanyaan: apakah ini menjadi ’satu lagi’ pekerjaan tambahan guru. A.B.Combs memperlihatkan bahwa ini bukanlah tambahan pekerjaan bagi guru. Guru hanya perlu melakukan hal yang sudah dilakukan sebelumnya dengan cara ’lebih baik’. Ini dilakukan dengan metode ubiquitous, yaitu tetap berfokus pada mata pelajaran inti tradisional, tapi melakukannya sambil memasukkan ’mata pelajaran’ keterampilan kehidupan dan karakter manakala memungkinkan (hal. 74).
Agar implementasi dapat berjalan dengan baik, maka peran ’budaya sekolah’ menjadi penting. Secara sederhana, ’Budaya Sekolah’ diartikan sebagai cara ’sekolah’ melakukan sesuatu (hal. 111). Budaya sekolah mempunyai dampak langsung terhadap daya belajar dan perkembangan siswa. Dalam terminologi antropologi, beberapa faktor yang diyakini mencerminkan budaya sebuah masyarakat meliputi: perilaku, bahasa, benda purbakala, tradisi (ritual) dan cerita rakyat. Dengan meminjam terminologi tersebut, Covey ingin memperlihatkan bahwa sekolah-sekolah yang sukses tersebut sebenarnya telah berhasil menciptakan suatu ’budaya’ di sekolah masing-masing. Kisah A.B.Combs misalnya, memperlihatkan adanya sikap-sikap tertentu yang harus dimiliki guru, pemilihan kata-kata yang tepat, dekorasi-dekorasi ruangan yang mendukung, tradisi-tradisi kegiatan, serta kisah-kisah inspiratif untuk memotivasi para siswa.
Pada akhirnya, Covey berpendapat bahwa ’budaya sekolah’ serta prinsip-prinsip kepemimpinan hanya akan berdiri kokoh jika dibangun di atas tanah yang kokoh. Di sini, Covey menegaskan perlunya ada keselarasan pemahaman dan sikap dari para pemangku kepentingan (stakeholder). Sikap memperlakukan murid dengan penuh rasa sayang sebagai individu, serta sikap memberi tanggungjawab dan kepercayaan kepada murid merupakan contoh sikap yang harus dimiliki, utamanya oleh para guru. Tanpa cinta dan saling hormat, 7 kebiasaan akan segera kehilangan sebagian besar potensinya.
Paparan Covey di atas tentu memberikan inspirasi bagi institusi sekolah manapun untuk siap membenahi dirinya. Terlepas dari konteks persoalan dan pergumulan masing-masing sekolah, paparan Covey sekurang-kurangnya telah menyadarkan kita akan beberapa hal sebagai berikut:
1. Sekolah harus peka akan tantangan-tantangan yang akan dihadapi para siswa ketika mereka lulus nanti, agar dapat mempersiapkan siswa dengan sebaik-baiknya sehingga kelak mereka dapat bertahan dalam menjalani kehidupannya.
2. Sekolah (bahkan seluruh stakeholders) harus memiliki keselarasan dalam komitmen untuk mendampingi para siswa dengan rasa cinta dan saling hormat.
3. Mengajarkan karakter kepada anak dapat dilakukan sambil mengajarkan mata pelajaran lainnya. Dengan demikian ini bukanlah suatu ’pekerjaan tambahan’ bagi guru, tetapi suatu masukan kepada guru agar membenahi cara mengajarnya menjadi lebih baik.
4. Hal tersebut terbukti dapat dilakukan.
Demikian Covey.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar