"kami pekerja, suka membaca"

Kamis, 13 Maret 2014

Pengakuan Algojo 1965

Pengarang : Kurniawan Etal
Penerbit : Tempo Publishing
No : SPPT.0354-DP-0314
 
Senin malam ini, 30 September, saya berkesempatan menghadiri peluncuran bukuPengakuan Algojo 1965, di Komunitas Salihara, Pasar Minggu. Undangan saya terima dari mention sahabat kompasianer mas Odi Shalahuddin di wall Facebook saya. Judul buku yang cukup sensitif, membuat saya penasaran ingin menghadirinya, selain juga karena versi film dokumenter dengan tema serupa berjudul The Act of Killing sudah saya lihat pada penghujung tahun 2012 lalu, walau hanya bisa saya saksikan di laman YouTube.
Adalah Anwar Congo, yang pada satu waktu dengan gagah beraninya membuat sebuah pengakuan bahwa dialah pembunuh banyak nyawa dari orang-orang yang dilabeli sebagai PKI (Partai Komunis Indonesia). Apa yang kemudian diakui Anwar membuat seorang sineas Joshua Oppenheimer mendokumentasikan ke dalam satu film dokumenter. Film itu sendiri telah diputar di Festival Film Toronto, Kanada.
Buku ini adalah versi lengkap investigasi Tempo edisi khusus, yang cukup komprehensif dan sangat menarik untuk disimak, karena mencoba mengupas tragedi peristiwa 30 September dari sudut pandang yang sangat berbeda dari yang kita dengar selama ini, yakni menelisik dari perspektif para algojo pembantai PKI. Menjadi penyeimbang sejarah yang sangat mungkin penuh bias dan fakta yang tertutupi atas nama keutuhan negara. Menjadi untold story yang sebelumnya terkubur dan tak pernah benar-benar terungkap dengan terang-benderang.
Membaca lembar demi lembar buku ini, kita seolah dibawa suasana kengerian di masa silam. Sungguh membayangkan saja rasanya sudah membuat saya sangat bergidik. Bagai viral yang sambung-menyambung, satu per satu mereka yang mengaku telah menjadi algojo bagi melayangnya banyak nyawa saudara sebangsa itu mengungkapkan kisahnya. Semua ditulis lengkap dengan identitas foto dan keadaan mereka terkini. Dan kebanyakan dari mereka tidak merasa bersalah apalagi menyesal telah menjadi eksekutor banyak nyawa manusia. Walau ada juga seorang algojo yang dikisahkan menghabiskan masa tuanya dalam kondisi terpasung akibat gangguan jiwa, setelah masa pembantaian itu berlalu sekian tahun. Diperlihatkan dalam sebuah foto kakinya terantai di jeruji besi.
Peluncuran buku dihadiri oleh beberapa tokoh dari Tempo, diantaranya Direktur Tempo Inti Media, Bambang Harymurti, Arif Zulkifli, Redaktur Eskutif Tempo, juga Goenawan Mohammad, yang Catatan Pinggir 10-nya pun ikut di-launching di acara ini. Topik yang hangat dan mencekam membuat semua yang hadir hening mendengarkan beberapa bagian penting buku ini dibacakan oleh penyair Sitok Srengenge di gedung Teater Salihara. Usai peluncuran, acara dilanjutkan makan malam bersama di rooftop gedung Salihara. Berikut beberapa liputan fotonya,Pada akhirnya sejarah akan terus menuntun jalannya sendiri untuk sampai pada kebenaran sejati, tak siapa pun bisa menahannya. Terlepas dari bias faktanya, tragedi pembantaian manusia atas manusia secara membabi buta tidak bisa dibenarkan atas nama apa pun. Tulisan sahabat kompasianer Yusran Darmawan cukup menjadi bukti, betapa pembantaian ala algojo ini meninggalkan luka dan trauma yang panjang. Semoga tragedi ini tak perlu terulang, meski jangan juga dilupakan. Dan semoga bangsa ini belajar dari torehan sejarah kelamnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar