"kami pekerja, suka membaca"

Rabu, 12 September 2012

Venesia Dari Timur : Memaknai Produksi dan refreduksi Simbolik KOTA PALEMBANG dari Kolonial Sampai Pascacolonial

Pengarang : Dedi Irwanto Muhamad Santun
Penerbit ; Ombak
No : SPPT.0197-DP-0409










Buku ini secara konkret memberikan tubuh kepada semangat dan jiwa interdisipliner Karena pendekatan yang diambilnya dalam mengulas sejarah dan perkembangan Kota  Palembang sejak zaman kolonial hingga kini berisi jalinan pelbagai pisau analisis dan sudut pandang, seperti semiotika, strukturalisme, kritik ideologi, ilmu sejarah, perencanaan kota, kajian teks, dan studi identitas.
Dalam buku ini, Palembang disoroti tidak hanya sebagai sebuah konstruksi fisik, melainkan pula sebagai sebuah konstruksi ideologis, dan sangat menarik menyaksikan bagaimana tegangan antara keduanya menjadi bingkai pengembangan Kota Palembang dari zaman ke zaman. Sebagai sebuah kota yang lokasinya di luar Pulau Jawa tetapi tidak terlalu jauh dari Jawa dan Batavia sebagai pusat kekuasaan, baik pada masa kolonial maupun pascakolonial, Palembang memang menduduki posisi yang unik sekaligus ambigu.
Sebagaimana dikemukakan penulis, identitas kota ini tidak pernah betul-betul jelas: ia adalah kota keraton karena secara tradisional ada sebuah kesultanan di situ. Namun, ia adalah juga kota maritim karena lingkungan geografis kota ini didominasi dan dikelilingi air. Bukan laut tetapi sungai. Dan sungai ini tak hanya membelah kota di tengah-tengahnya, tetapi juga memotong-motong Palembang menjadi pecahan-pecahan mosaik, kalau tidak dapat dikatakan potongan-potongan puzzle, karena sungai Musi ini memecah menjadi ratusan anak sungai. Lokasinya yang strategis juga menyebabkan kota ini berfungsi sebagai kota pelabuhan karena memberi akses menuju ke pedalaman dari arah Selat Malaka yang sibuk dan penting sepanjang masa.
Dalam buku ini, juga mengungkapkan bagaimana pelbagai kekuatan sejak masa prakolonial hingga masa kemerdekaan senantiasa berupaya ‘menaklukkan’ Palembang dengan cara menciptakan jarak antara kota ini dengan penanda utamanya, yakni air. Palembang dibangun dan dikembangkan dengan perspektif daratan oleh kekuatan-kekuatan tersebut. Air yang memegang peranan penting dalam menghubungkan komunitas-komunitas yang menghidupi kota itu selalu hendak digantikan dengan sesuatu yang solid, yang mudah dibentuk dan dibingkai, sehingga, dengan demikian, lebih mudah diatur dan dikendalikan.
Maka lahirlah Jembatan Ampera yang megah, tetapi seakan mematok kota tersebut  secara lebih kaku alih-alih membiarkannya menjadi sebuah ‘kota terapung’ yang sudah menjadi kodratnya sejak semula. Ini dilakukan seiring dengan dibangunnya permukiman-permukiman baru dalam wujud bangunan-bangunan batu, yang menggeser kehidupan kota ke arah barat—menusuk ke pedalaman dan menjauh dari perairan.
Namun, kota ini memiliki kemampuan perlawanannya sendiri. Alam lingkungannya yang khas dan warganya yang multikultur rupanya menjadi senjata pamungkas dalam menolak setiap upaya penaklukan, baik oleh kekuatan elite pribuminya maupun kekuatan-kekuatan asing yang datang silih berganti. Kekuatan buku ini yang terutama terletak pada bagaimana ia mampu mengungkapkan gerakan-gerakan yang saling berbenturan itu lewat penelusuran atas sejarah kota sekaligus sejarah warga kota secara bebarengan. Sejarah Palembang dalam buku  ini pertama-tama tidak dibentuk oleh riwayat orang-orang penting dan kaum elite pembuat kebijakan kota, melainkan oleh kisah-kisah mereka yang berada di lapis bawah, yang tersingkirkan, dan yang dilemahkan. Mereka inilah yang menjadi tokoh-tokoh utama dalam kisah Palembang sebagai sebuah teks.
Buku ini berharga karena menyajikan sebuah dimensi baru yang tersimpan dalam riwayat Palembang tapi belum pernah digali secara komprehensif hingga kini. Gambaran kita tentang kota air, Venesia dari Timur, ini tak akan lagi sama dalam imajinasi kita setelah usai membaca buku ini. Kita diajak untuk memahami bahwa sesungguhnya studi atas sebuah kota adalah ibarat sebuah studi atas sesosok jasad organik yang hidup, bukan sekumpulan benda-benda mati yang dibangun dari pasir dan batu. Buku ini ditulis dengan kecintaan seorang warga—pemilik sekaligus bagian dari kota, dan bukan semata oleh seorang sejarawan yang mengamati kota secara berjarak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar