"kami pekerja, suka membaca"

Senin, 24 September 2012

Bumi Manusia

Pengarang : Pramoediya Ananta Tour
Penerbit : Lentera Dipantara
No : SPPT.0216-DP-0409






Indonesia patut bangga mempunyai Pramoedya Ananta Toer. Menurut saya, belum ada lagi buku dari Indonesia sebaik Bumi Manusia. Buku ini adalah sumbangan Indonesia untuk dunia.

Tapi Indonesia sendiri sempat memperlakukan Pramoedya secara tidak layak. Dia menulis buku ini di tahanan pengasingan pulau Buru. Dia menceritakan buku ini sebelum ditulis kepada tahanan-tahanan lain. Dia dilarang memiliki alat tulis, jadi dia menulis secara sembunyi-sembunyi dengan apapun yang dijumpainya, kertas bekas, kertas bungkus rokok, dan sebagainya. Tak jarang ketahuan aparat penjara, naskah tulisannya akan dirampas dan dibakar.Setelah dia bebas, dia berusaha sekuat tenaga untuk merekonstruksi novel ini kembali. Setelah diterbitkan pun, pihak yang berwajib kala itu (rezim orde baru) melarang peredaran buku ini dengan alasan meyebarkan komunisme dan Marxisme. Hal ini sebenarnya tidak terbukti karena dalam buku itu tidak satu kalipun disebutkan kata komunisme dan Marxisme, maupun membahas ajarannya.

Buku ini bercerita tentang masa penjajahan Belanda atas Indonesia. Minke, tokoh dalam novel ini adalah seorang Jawa yang beruntung bisa bersekolah bersama-sama bangsa Belanda dan keturunannya. Dia adalah anak seorang Bupati yang dianggap layak hidup berdampingan bersama orang Belanda. Minke berprofesi sebagai penulis yang dihormati pada media-media berbahasa Belanda.

Meskipun dapat mengecap pendidikan Belanda, dia membenci teman-temannya yang benar-benar keturunan Belanda, baik Belanda Totok maupun Indo. Dia merasakan benar-benar ketidakadilan antara masyarakat Belanda dan rakyat pribumi.
Kemudian Minke berkenalan dengan istri simpanan seorang Belanda yang bernama Nyai Ontosoroh. Nyai Ontosoroh memiliki anak yang cantik bernama Annelies. Nyai Ontosoroh adalah wanita yang tak biasa dan tradisonal. Meskipun dia wanita yang tak berpendidikan formal, dia menguasai pengetahuan melalui buku-buku dan pengalaman dan pengamatan pribadi. Nyai Ontosoroh adalah wanita yang berpikiran lebih luas dari wanita-wanita bangsanya yang dilemahkan dan termasuk perempuan yang provokatif.

Meskipun begitu, dia adalah wanita yang dianggap rendah oleh bangsanya sendiri karena telh menjadi budak nafsu seorang Belanda, meskipun dia tidak memiliki pilihan lain. Anaknya, Annelies, kemudian menikah dengan Minke, tapi tidak diakui oleh pemerintah Belanda. Ayahnya yang seorang Belanda pemabuk, Herman Mellena, menentang Minke yang dianggapnya seorang pribumi rendah.

Itulah gambaran yang dilukiskan oleh Pramoedya Ananta Toer, gambaran mengenai inferioritas bangsa ini. Gambaran ini bahkan masih relevan dalam masa ini. Bangsa kita selama ini masih rendah tingkat pendidikan, dan harus berhamba terhadap bangsa lain.

Ini adalah novel anti-imperialisme. Novel yang membela kemanusiaan di atas segala entitas politik lainnya, sesuai judulnya, Bumi Manusia. Rasisme bukan dikumandangkan dari negeri-negeri tak berpendidikan, tetapi malah terutama oleh bangsa Eropa. Adalah ironi bagaimana orang Eropa (kala itu) memandang manusia di Asia dan Afrika. Manusia pribumi dianggap oleh manusia Eropa sebagai manusia yang savage (tak beradab), yang asing (strange), yang berjalan dengan telapak kaki tanpa alas dan makan dengan kelima cakar kita. Alhasil, Eropa dianggap sebagai satu-satunya referensi peradaban yang mulia. Inilah awal mula dari penindasan dan penjajahan. Ini adalah buku yang melihat manusia Eropa dari sudut pandang kita yang asing. Bangsa Eropa mengagumi kekayaan dan keindahan alam Hindia Belanda, tapi merasa bahwa penghuninya adalah masyarakat kelas dua, sekelas budak yang tidak mampu berpikir dan berdaya. 

Menurut Pramoedya, pendidikan adalah poin yang terpenting dari perlawanan terhadap penjajahan. Bangsa yang terdidik adalah bangsa yang mampu menjadi setara dengan bangsa lain. Bangsa yang terdidik adalah bangsa yang mampu menentukan nasib sendiri. Pendidikan adalah kunci dari kemerdekaan. Pendidikan adalah emansipasi, bukan monopoli golongan.

Sementara di negeri ini, rakyat terus terjajah. Novel yang emansipatoris seperti ini bahkan dilarang oleh pemerintah, seolah mengulang kembali ketakutan penjajah Belanda akan rakyat pribumi yang berpendidikan. Pendidikan saat ini pun cenderung elitis. Pendidikan di negeri seperti perahu Nabi Nuh, hanya sebagian kecil golongan yang bisa masuk, yang lain akan tenggelam dalam air bah. Hanya sebagian kecil orang kaya yang bisa bersekolah tinggi saat ini, sama dengan yang diceritakan Pramoedya semasa penjajahan Belanda. Kita negeri yang sulit belajar.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar