Penerbit : Kompas
No : SPPT.0159.DP-0409
Mungkin sekarang, tak banyak lagi dari kita yang peduli dengan kehidupan dan pentingnya fungsi sungai. Padahal di masa lalu, sungai adalah sumber utama hidupnya perekonomian masyarakat. Ya, aktifitas perekonomian lebih banyak dihabiskan di sepanjang aliran sungai. Transportasi utama masyarakat untuk bepergian atau membawa barang dari suatu daerah ke daerah lainnya jauh lebih mudah dan efisien dengan melewati sungai. Aktifitas kehidupan sehari-hari, mulai dari pasar, kegiatan mencuci, mandi dan sebagainya lebih banyak dilakukan di sekitar aliran sungai.
Tanpa sungai roda perekonomian bisa dikatakan takkan berjalan dengan
optimal. Namun seiring majunya peradaban, fungsi sungai yang demikian
sakral lambat laun mulai ditinggalkan masyarakat. Transportasi darat
dan udara yang mengalami kemajuan pesat menutup ingatan orang tentang
betapa pentingnya fungsi sungai itu dulu.
Tim Kompas dalam buku Jelajah Musi, Eksotika Sungai di Ujung Senja
mengajak kita kembali memutar memori masa lalu bangsa ini. Melihat pusat
nadi kehidupan masyarakat Indonesia yang tak pernah lepas dari sungai.
Sungai Musi di Provinsi Sumatera Selatan dengan panjang kurang lebih
720 kilometer adalah potret makmur kehidupan masyarakat Sumsel waktu
itu. Musi menjadi roh yang menggerakkan arus dan mobilitas perekonomian
rakyat di sepanjang alirannya.
Negeri ini memiliki ratusan sungai yang berperan besar menciptakan
peradaban maju di bumi nusantara. Memberikan kemakmuran dan
kesejahteraan hidup bagi masyarakatnya. Selain Musi, ada sungai
Batanghari di Provinsi Jambi, sungai Siak di Riau, sungai Asahan di
Sumatera Utara, Kapuas, Barito, dan Mahakam di Kalimantan, Ciliwung,
Begawan Solo di Jawa, dan masih ada ratusan sungai yang menjadi saksi
majunya peradaban masyarakat di masa lalu.
Catatan kemajuan dan pentingnya fungsi sungai dalam masyarakat
Indonesia tempo dulu, kini hanya sebatas romantika yang terlupakan.
Sungai Musi dalam sejarahnya adalah roh utama perekonomian masyarakat
Palembang dan rakyat Sumsel di sepanjang aliran Musi. Mereka tumbuh dan
hidup dalam tradisi bersih masyarakat pedesaan yang tidak bisa
dilepaskan begitu saja dari fungsi sungai.
Tapi kini, kepedulian masyarakat terhadap sungai sudah jauh berkurang.
Bahkan mungkin sudah tak ada lagi. Laporan Tim Kompas menyebutkan,
sungai Musi sudah mengalami kerusakan yang amat parah. Kerusakan
tersebut sudah terlihat mulai dari hulu sungai sampai buritan sepanjang
720 kilometer yang dialirinya. Jenis kerusakan lebih pada erosi yang
tak terbendung. Yang menyebabkan acapkali terjadi lonsong di sepanjang
aliran sungai. Akibatnya terjadi pendangkalan di banyak bagian sungai.
Kini kita bisa lihat, kapal-kapal kecil sekali pun tak bisa melewati
sungai Musi di musim kemarau. Padahal sungai ini dulunya adalah jalur
transportasi utama untuk masuk atau keluar kota Palembang. Kapal-kapal
besar bahkan bisa beroperasi dengan baik disini. Dalam buku setebal 376
halaman ini, tim Kompas melihat tidak ada upaya representatif dari
masyarakat di sekitar sungai dan pemerintah khususnya untuk memulihkan
kondisi sungai. Erosi yang selama ini menjadi momok bagi keseimbangan
sungai belum tampak ada upaya perbaikan.
Di sepanjang sungai tak ditemukan tumbuhan atau pohon-pohon yang kuat
menahan erosi. Kalau tidak ada keinginan kuat dari masyarakat atau
tidak ada juga upaya pemerintah untuk memperbaiki keseimbangan sungai,
kita bisa saksikan apa yang akan terjadi pada salah satu kekayaan alam
Indonesia ini di masa mendatang. Mungkinkah kita hidup tanpa sungai ?
Kini, bisa jadi kita beralibi demikian, sungai tak lagi penting dalam
kehidupan modern. Tapi harus diingat tanpa sungai, kita akan kehilangan
salah satu ekosistem terpenting dalam kehidupan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar