"kami pekerja, suka membaca"

Selasa, 08 Juli 2014

Investasi Menguntungkan Dalam Pasar Lesu

Pengarang : Peter D Schiff
Penerbit :PT Elex Media Komputindo
No : SPPT.0366-DP-0414




Sinopsis :
Apa Untungnya Berinvestasi Exchange Ttraded Index Funds? Di tengah tengah merosotnya harga saham, meletusnya gelembung sektor real estate, serta melemahnya nilai dolar Amerika Serikat (AS), perekonomian AS sedang mengalami kontraksi yang berkepanjangan. Berbagai saham di AS mengalami kelesuan di bursa saham, demikianlah hasil pengamatan dan analisis President & Chief Global Strategist, Euro Pacific Capital Peter D Schiiff, yang juga pengamat handal di Wall Street. Setelah Peter Schiff berhasil menyampaikan prediksinya secara akurat perihal gejolak pasar saham di buku pertamanya yang juga best seller Crash Proof: How to Profit from the Coming Economic collapse. Televisi CNBC memberikan julukan kepadanya �Doctor Doom� karena analisis dan kritikan yang begitu akurat dan tajam. Peter Schiff telah berhasil menyelamatkan banyak investor dalam melindungi portofolio mereka di dalam gejolak pasar saham. Dalam buku ini Anda akan diperlihatkan cara melakukan hal yang sama. Buku ini juga ditulis dengan gaya bahasa yang lugas dan mudah dimengerti. Little Book of Bull Moves in Bear Markets akan membuka mata Anda tentang hal yang sedang terjadi dewasa ini serta menunjukkan cara melindungi aset Anda dan juga cara menginvestasikan uang Anda pada masa perekonomian AS yang sedang terpuruk dan membahayakan perekonomian negara-negara lainnya. Anda akan diperlihatkan cara membangun kekayaan di tempat di mana kemakmuran luar biasa sedang terjadi di luar AS. Buku ini juga berisi banyak komentar, nasihat dan pandangan yang sangat bermanfaat dan inovatif. Buku ini mengajarkan bagaimana Anda menghasilkan uang yang masif di tengah tengah kondisi pasar yang kurang bersahabat dengan cara menggunakan strategi investasi non tradisional namun conservative. Anda bisa megetahui berbagai kejadian penting di perekonomian dunia pada masa tahun 1930-an dan 1970-an dan mempelajari berbagai cara para investor berinvestasi pada masa perekenomian dunia mengalami hiperinflasi, dengan kondisi pasar yang terpuruk, serta dibarengi adanya kenaikan suku bunga dan juga penurunan nilai mata uang beberapa negara saat itu. The Little Book of Bull Moves in Bear markets mengajarkan kita cara melakukan langkah langkah berani yang menguntungkan dengan hasil yang memuaskan sehingga kita bisa mengamankan kekayaan kita, dan bahkan meningkatkan secara signifikan jumlah kekayaan kita di tengah kondisi perekonomian terpuruk sekalipun. Kita bisa melakukan investasi di negara-negara yang perekeonomiannya tumbuh dengan pesat sekali dengan melakukan investasi pada saham berbasis komoditi, sumber sumber daya alam maupun logam berharga. Pada setiap akhir bab, Schiff memberikan tip dan pandangan yang sangat segar dan bermanfaat guna membimbing Anda dalam proses meningkatkan kekayaan Anda Peter Schiff merupakan seorang analis keuangan dunia, andal yang langka dan benar-benar memahami tanggung jawab Federal Reserve dalam tindak tanduknya sehingga siklus kemajuan maupun kemerosotan menimpa perekonomian AS dewasa ini. Buku ini merupakan buku yang harus diniliki dan ditambahkan dalam perpustakaan bagi siapa pun yang ingin mengetahui lebih dalam mengapa perekonomian AS terperosok dan terpuruk sebegitu dalam. Ron Paul, Anggota Congress AS Schiff telah memperingatan perihal kelabilan fondasi perekonomian AS sejak lama sebelum keretakan perekonomina pertama terjadi. Di luar sana ada para pemimpin pasar yang menghibur dan mengatakan, tenang saja, fondasi perekeonomian kita kuat dan baik baik saja, namun jika Anda ingin mengetahui pesan/nasihat realis pasar sejati, bacalah uku ini. Glenn Beck, Pembawa Acara TV, The Glenn Beck Program �Peter Schiff memahami masalah keuangan dunia dan mempunyai gambaran perekeonomian besar jauh lebih baik dari pada para analis Wall Street. Bagi para investor, baik yang sudah berpengalaman maupun tidak, dapat memperoleh manfaat , nasihat serta pengetahuan yang luar biasa dari buku ini. Buku ini merupakan bacaan wajib

Rabu, 18 Juni 2014

13 Rahasia terkreatif Dalam dunia Marketing

Pengarang : Halim Ivan
Penerbit : Pt Elex Media Komputindo
No : SPPT.0365-DP-0414
 
  • SMARTWISE MARKETING merupakan sebuah hasil karya MODELING atau PEMETAAN dari berbagai studi kasus dilapangan dengan gaya penulisan yang sederhana sehingga gampang dimengerti sekalipun bagi mereka yang awan dengan Marketing. Kenapa Musti SMARTWISE MARKETING, antara lain : a. karena merupakan hasil MODELING. b. karena berkolaborasi dengan unsur KREATIVITAS. c. karena bersifat INSTANT buat diaplikasikan. Melalui buku ini maka Anda akan SEGERA mempelajari hal-hal antara seperti, 1. Bagaimana caranya buat merangsang tingkat KREATIVITAS Anda dalam Marketing sehingga produk dan jasa Anda bisa tampil beda jika dibandingkan dengan kompetitor. 2. Bagaimana caranya membuat bisnis Anda yang bekerja serta menghasilkan INCOME bagi Anda. 3. Bagaimana caranya membangun BISNIS dengan modal yang relatif kecil. 4. Bagaimana caranya membina pola kerja sama yang menguntungkan sekalipun harus bergandengan dengan KOMPETITOR Anda. 5. Bagaimana memikat HATI konsumen Anda hanya dalam waktu sekejap saja. 6. Bagaimana cara TERINSTANT buat mengdongkrak sisi EMOSIONAL konsumen Anda, karena setiap tindakan keputusan membeli 100% didasari oleh keputusan emosi. 7. Bagaimana memperkenalkan produk Anda dengan biaya yang sangat MINIM sekali namun dijamin EFEKnya sangat LUAR BIASA. 8. Bagaimana memanfaatkan konsep TEASE guna buat memposisikan produk serta jasa Anda dalam BENAK konsumen. 9. Bagaimana orang CREATIVE dalam melihat sebuah PELUANG serta mengubahnya menjadi UANG. 10. Bagaimana menuliskan tagline-tagline yang begitu sensasional guna buat menyampaikan sebuah pesan yang TERSEMBUNYI.

Senin, 16 Juni 2014

Cara Salah membersihkan Komputer & Gadget

Pengarang : Sequoia
Penerbit : Pt Elex Media Komputindo
No : SPPT.0364-DP-0414
 

Cara Salah Membersihkan Komputer & Gadget

Posted on 14 May 2010 by Feri in BukuInformasi.

Setiap orang memiliki gadget/komputer, dan mereka asyik menggunakannya segera setelah dibeli. Hingga beberapa lama kemudian, gadget/komputer mulai terlihat kusam, kotor dan terkena noda.
Banyak orang bingung dan ragu perihal membersihkan perangkat tersebut, apakah menyekanya dengan air atau cairan pembersih rumah tangga diperbolehkan? Bagaimana membersihkan koponen interior dan ekteriornya juga pada bagian-bagian lain yang sulit dijangkau? Masih banyak pertanyaan lainnya perihal membersihkan gadget komputer.
Buku ini memberikan solusi tepat dalam membersihkan, merawat dan menggunakannya dengan benar hingga tahan lama!

Senin, 26 Mei 2014

Kenapa Prabowo Subianto (7 Alasan dia cocok jadi presiden)

Pengarang :Audray G.D Tangkudung
Penerbit : Pt Era Media Global
No : SPPT.0363-DP-0414

♦ KENAPA PRABOWO SUBIANTO? ♦
7 Alasan Dia Cocok Jadi Presiden

Pertanyaan yang sering muncil saat ini adalah mengapa Prabowo Subianto lebih unggul dan popular dibandingkan banyak calon presiden lain? Mengapa masih banyak orang yang senang kapadanya?
Prabowo Subianto pernah menjadi bintang yang bersinar, namun bintang itu jatuh terhempas, namun dalam kejatuhannya dia merenung, menyadari kekeliruannya, dia kemudian bangkit, dan inilah yang membuat banyak orang bersimpati kepadanya (Aristides Katoppo, tokoh pers).
Prabowo Subianto adalah tokoh yang berwibawa, dan kewibawaannya tidak pernah hilang meskipun ia tidak memiliki jabatan (Dr Amir Santoso, pengamat politik)

Selasa, 20 Mei 2014

Demi Rakyat (Para kepala negara yang sederhana mencintai rakyat)

Pengarang : Nur rokhim
Penerbit : Palapa
No : SPPT.0362-DP-0414
 
(Resensi Buku) Kisah Para Kepala Negara yang Merakyat
 Ditulis : M Romadlon 20 Maret 2014 | 10:16

Judul Buku : Demi Rakyat!
Penulis : Nur Rokhim
Penerbit  : Palapa
Cetakan   : I, Februari 2014
ISBN : 978-602-255-100-3
Menjalani kehidupan dengan sederhana di zaman modern bukan hal mudah. Terlebih bagi para kepala negara yang hidupnya dikelilingi tahta dan limpahan harta. Sejarah mencatat, banyak para pemimpin negara lupa diri, yang menggunakan kekuasaanya untuk bermewah-mewah, berfoya-foya, dan menindas rakyatnya. Sebut saja kepala negara Filipina, Ferdinan Marcos dan Presiden Kongo,  Mobubu Sese Seko
Tentu, tidak semua kepala negara hidup berfoya-foya dan bermewah-mewah. Meski jumlahnya sedikit, masih ada kepala negara yang hidup sederhana, mengacuhkan dunia, dan sangat mencintai rakyatnya.
Buku Demi Rakyat! mengupas profil para kepala negara dari lintas zaman, lintas benua, dan lintas agama yang hidup dengan sangat bersahaja namun memiliki kecintaan yang sangat luar biasa pada rakyatnya.
Dari Jazirah Arab ada Mohammad Saw. Statusnya sebagai seorang kepala negara sekaligus rasul terakhir tidak menjadikan dirinya bermewah-mewah dalam hidupnya. Padahal kalau mau, bukit-bukit di Mekah akan diubah menjadi emas oleh Allah. (hal.12)
Saking sederhana, tidurnya hanya beralas tikar kasar dan di rumahnya hanya ada segengam gandung, daun penyamak kulit, dan sehelai kulit yang belum selesai di samak. Sehari makan sehari berpuasa. (hal.14)
Meski begitu, beliau sangat mencintai rakyatnya terlebih pada anak-anak yatim. Kencintaan pada umatnya melebihi kecintaan beliau pada diri sendiri. Bahkan, menjelang wafatnya, ia masih sempat menyebut umatnya tiga kali. (hal.17-18)
Kesederhanaan ini ditiru oleh para pengganti beliau. Abu Bakar misalnya, sebagai kepala negara tidak pernah mau menerima gaji. Maka, menjelang wafat beliau berpesan untuk mengembalikan semua barang kebutuhannya yang diambil dari Baitul Mal (kas negara). Bahkan, beliau berpesan untuk memberikan kebun miliknya untuk penggantinya. (hal. 24).
Di Indonesia ada Ir Soekarno dan Gus Dur. Sejarah mencatat, presiden pertama dan keempat ini sangat sederhana dan mencintai rakyatnya.
Saking sederhananya, sebagai seorang presiden, Bung Karno sering kehabisan uang untuk kebutuhan, tidak punya simpanan, dan tak punya rumah pribadi. Toh begitu, ia sangat tulus mencintai rakyatnya sehingga sampai sekarang rakyat pun masih mencintainya. (hal.71).
Sementara kesederhanaan Gus Dur diakui oleh para sahabatnya. Ahmad Tohari misalnya, mengatakan bahwa Gus Dur rela tidur hanya beralas karpet di rumahnya. Bondan Gunawan, mantan menteri Sekneg era Gus Dur mengatakan, kalau beliau adalah presiden paling kere. Dan, ajudanya pernah menyaksikan sendiri kalau beliau berkenan tidur beralas koran di lantai kereta. (hal 76-77)
Salah satu bukti kecintaan pada rakyat tampak saat ia berkenan mengundurkan diri untuk menghindari terjadinya perang saudara. (hal.79)
  Di Venezuela ada Hugo Claves. Presiden ke 53 ini terkenal getol membela hak dan kepentingan rakyat, karena sebelum menjadi presiden ia memang sudah akrab dengan kelaparan dan kemiskinan. Semua kebijakannya selalu berpihak pada rakyat jelata. Tak aneh bila angka kemiskinan turun hingga 50 %.(hal.98-99)
Selama menjabat, presiden beragama Katolik Roma ini berhasil menasionalisasi perusahan energi kelas kakap dunia, seperti Orinoco, Exxon Mobile, dan Conoco Philips (hal.100) 
Sedang di Bolivia ada Evo Morales. Presiden pribumi Bolivia ini terkenal getol melawan kebijakan Amerika. Saat terpilih jadi presiden, penganut Katolik Roma ini berjanji akan memotong setengah gajinya. Pemotongan ini dia gunakan untuk perluasan lapangan kerja, perbaikan pendidikan, dan kesehatan rakyat Bolivia. (hal. 131-132)
Tidak hanya itu, ia pun memberikan tanah seluas 3,1 juta hektar milik negara untuk rakyatnya, merevisi undang-undang tentang kesenjangan ekonomi dan kebijakan sosial bagi rakyat miskin, seperti pelayanan kesehatan gratis, pendidikan gratis, dokter untuk desa miskin, dan pinjaman dengan bunga rendah (hal. 133)
Sejarah dunia pun mencatat dengan tinta emas tentang kesederhanaan dan kecintaan pada rakyatnya yang ditunjukkan oleh para pemimpin lainnya. Sebut saja, di Amerika punya Harry S Truman, di Uruguwai ada Jose Mujica, di Afrika Selatan punya Nelson Mandela, di Malaysia ada Mizan Zaenal Abidin, sedang di Korea Selatan ada Kim Young Sam.
Para pemimpin berhati mulia itu laksana oase di tengah kegersangan jiwa para rakyat bangsanya. Bahkan, kisah inspiratif mereka adalah milik semua manusia lintas masa, agama, dan bangsa.  
Dari mereka kita belajar, bahwa hidup bukan sekedar tentang uang. Dan,  jabatan bukan kekuasaan semata melainkan amanat dari rakyat yang mesti ditunaikan dengan sepenuh jiwa.

Senin, 19 Mei 2014

Dunia Batin 2 Macan Asia

Pengarang : Juma D Putra
Penerbit : Palapa
No : SPPT.0361.DP-0414
 
Sekilas tentang isi buku
Dalam setiap diri manusia, diwarisi dunia batin yang membawanya kepada nilai kebijaksanaan untuk mengarungi hidup. Rakyat jelata hingga para pemimpin dunia dapat memilikinya, bahkan memperdalam spiritualitasnya. Banyak cara yang dapat ditempuh, mulai dari mendekatkan diri kepada Tuhan, hingga ritual-ritual mistik yang dipercaya oleh kalangan tertentu.
Buku ini mengungkapkan kisah dua sosok besar pemimpin Republik Indonesia, yaitu Soekarno dan Soeharto, dalam ranah spiritual. Biografi Soekarno berupaya mengungkapkan dunia batin dan pengembaraan spiritual “sang putra fajar”. Di antaranya adalah penggantian namanya semasa kecil, kemampuannya sebagai “dukun”, perjalanan menemui Nyi Blorong, hingga momentum dalam penjara yang membawanya menemukan Islam.
Sementara, perjalanan spiritual Soeharto memotret bagaimana laku hidupnya dalam melestarikan tradisi kejawen dalam kepemimpinannya. Soeharto dipercaya menyimpan berbagai benda pusaka, memiliki wahyu keprabon dalam diri istrinya, dan menjalankan pertapaan hingga menjadi presiden RI.
Di luar laku-laku spiritual tersebut, kedua pemimpin ini juga memiliki nilai kebijaksanaan yang diwarisinya sebagai anak bangsa. Semoga kita dapat meneladani nilai-nilai itu dalam kehidupan sehari-hari.
Selamat membaca!

Kamis, 08 Mei 2014

2012 Story ( mitos menyesatka dan pakta sebenarnya tentang tahun paling kontroversial dalam sejarah)

Pengarang ; Jhon Mayor Jenkins
Penerbit : Pt Gramedia Pustaka Utama
No : SPPT.0360-DP-0414
Di The 2012 Story temukan…
+ Kenapa kalender suku Maya hanya dibuat sampai tahun 2012.
+ Manfaat kalender kuno itu bagi kita di masa modern ini.
+ Bagaimana gagasan 2012 dipahami-dan diselewengkan-oleh akademisi tradisional, pelaku kegiatan spiritual, serta kebudayaan populer.
+ Apa kontroversi dan misteri utama seputar gagasan 2012.
+ Bagaimana kita bisa menyingkirkan kehebohan tentang 2012 dan menarik nilai kebijakan sejati suku Maya yang bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
“John Major Jenkins, salah satu penulis paling terkemuka tentang topik 2012, membantu mengklarifikasi kehebohan ini.”

Suoer Sales (Optimalkan roh,seni,& humor untuk meningkatkan penjualan)

Pengarang : Dodi Mawardi
Penerbit : Pt Elex Media Komputindo
No : SPPT.0359-DP-0414

Rabu, 07 Mei 2014

Selasa, 06 Mei 2014

Sukses Management Sales Dengan Salesforce.Com

Pengarang : Jubilee Enterprise
Penerbit : Pt Elex Media Komputindo
No : SPPT.0357-DP-0414
 

SUKSES MANAJEMEN SALES DENGAN SALESFORCE.COM
Jika Anda memiliki banyak armada sales, baik yang tinggal di kantor pusat maupun yang tersebar di banyak tempat (dalam negeri maupun luar negeri), maka Anda membutuhkan buku ini. Terlebih jika Anda ingin mengarsipkan semua diskusi, data-data konsumen dan prospek, nilai penjualan, penjadwalan event, dan semua hal yang terkait dengan penjualan dan pemasaran perusahaan Anda.
Situs Salesforce.Com yang dikupas habis di buku ini merupakan sebuah situs yang dapat Anda pakai untuk memuluskan semua rencana pemasaran dan penjualan Anda. Berikut yang bisa Anda lakukan dengan situs Salesforce.Com:
- Mencatat kontak yang berkaitan dengan konsumen, pelanggan, prospek, sampai mitra-mitra bisnis Anda.
- Membuat akun-akun yang berkaitan dengan sales Anda, meliputi akun analis, competitor, customer, inventor, partner, reseller, dan sebagainya.
- Membuat event atau acara-acara yang digelar untuk mempromosikan serta menjual produk dan jasa Anda.
- Membuat daftar kampanye yang akan diselenggarakan dalam waktu singkat ataupun dalam jangka panjang.
- Mendata semua opportunity yang mungkin akan didapat dalam waktu dekat.
- Menambahkan dokumen-dokumen yang penting untuk transaksi bisnis.
- Dan lain sebagainya.
Dengan Salesforce.Com, tugas Anda tidak hanya jauh lebih praktis dan ekonomis, tapi arsip-arsip perusahaan yang berkaitan dengan sales dan pemasaran akan menjadi jauh lebih rapi dan terdokumentasi dengan baik. Akhir kata, jika mau sukses, silakan baca buku ini!

Rabu, 19 Maret 2014

Menjadi Pemimpin Politik

Pengarang : M Alfan Alfian
Penerbit : Pt Gramedia Pustaka Utama
No : SPPT.0356-DP-0314
Kehidupan adalah instink untuk menumpuk kekuasaan, di saat nafsu berkuasa berhenti, maka berhenti pulalah kemajuan peradaban.
Dalil ini, setidaknya, dipercaya oleh Frederich Nietzche, sang pengggas eksistensialisme. Meski banyak bukti yang bisa membalik asumsi garang itu, namun tak kurang-kurang pula catatan sejarah yang bisa menjadi alat pembenaran. Betapa dunia dipenuhi oleh peradaban-peradaban besar, yang dihela oleh manusia-manusia unggulan (sekaligus sangat pekat dipenuh naluri untuk berkuasa).
Dan buku ini sepenuhnya membincang genealogi (seluk beluk) kekuasaan. Terutama dalam terma kekuasaan politik. Begitu detil dan menelusur ke segala sudut. Mulai dari petikan-petikan filosofis-puitis tentang kekuasaan, dasar-dasar teori kekuasaan, ideologi, hingga catatan orang-orang besar yang pernah sangat berkuasa.
Nyaris saja, jika buku ini ditulis lebih tebal dan panjang, menjadi text book terpenting seputar politik dan kekuasaan (minimal untuk konteks pembaca di Indonesia). Satu hal perlu diingat, penulis buku ini tergolong pengamat politik prolifik, begitu produktif, dan mampu menulis pembahasan dengan ide berat, tetapi melalui bahasa yang mudah. Dia adalah M. Alfan Alfian, Alumni HMI dan kini menjadi pengajar Ilmu Politik di sejumlah kampus di Jakarta.
Bagian terpenting, buku ini mengurai pengertian dasar dari kekuasaan. Lewat telaah multi perspektif, penulis buku ini mengangkat satu pendekatan yang paling mudah, demi memahami makna kekuasaan. Di halaman 218 misalnya, dalam Bab Arti Penting Kekuasaan, menukil Robert A. Dahl, bahwa pada pokok batang kekuasan, hanya melulu menjulur dalam sejumlah ranting, yaitu : power, influece, authority, and rule. Sisanya, yang lain-lain adalah soal akar tunjang kekuasaan, tanah penyubur, atau mungkin dedaunan saja yang terdapat dalam “pohon besar” kekuasaan.
Sumber Kuasa
Kekuasaan diperoleh dari banyak sumber. Benar atau salah, faktual atau mitos, via jalan damai atau perang berdarah, bukanlah urusan penting. Maksudnya, banyak sumber dan banyak cara untuk memperoleh kekuasaan, dan agar kekuasaan dipercaya kebenarannya dan bisa langgeng, maka ia butuh “pembenaran”, atau dalam bahasa politik moderen disebut legitimasi.
Inilah yang penting. Bahwa ketika sumber kekuasaan diklim sebagai datang dari Tuhan, maka ia butuh legitimasi agama. Saat kekuasaan datang dari kekuatan takhayul (seperti Nyi Roro Kidul, dalam klaim raja-raja Mataram), maka ia butuh legitimasi mitos. Sementara di alam demokrasi moderen, sumber kekuasaan diperoleh melalui legitimasi hukum dan pemilu yang sah.
Jika pilar dasar kekuasaan telah diperoleh, maka langkah selanjutnya adalah menemukan basic of power atau basis kekuasaan. Perkara ini, seperti terurai di halaman 237 buku ini, terletak pada: (1) paksaan; (2) imbalan; (3) persuasi; dan (4) pengetahuan. Olehnya, muncul beragam istilah, seperti kekuasaan paksaan atau kekuasaan pengetahuan (the power of knowledge). Meski basis kekuasaan bergerak dalam empat alur itu, kesemuaanya tetap membutuhkan atribut kekuasaan, dalam bentuk simbol, ikon, sistem nilai, ideologi, atau bahkan konstitusi.
Atribut Kuasa
Hari ini kita mengenal lanskap baru dalam atribut kekuasaan, yaitu imagology (sebagai dasar filosofisnya), politik pencitraan (sebagai metode), dan kekuasaan televisual (sebagai wahana). Metodologi canggih tersebut, meski bersifat baru, tetapi sama sekali tak meninggalkan praktek-praktek pembenar kekuasaan yang sudah lazim, melainkan hanya mengemasnya secara menarik.
Dengan demikian, dalam politik pencitraan, mitos pun masih perlu. Hal ini, seperti ditegaskan Karen Armstrong, bahwa mitos bukanlah masalah informasi faktual, melainkan efektivitasnya (halaman 261). Selain mitos, juga pernak-pernik persepsi, yang terdapat dalam simbol, ikon, gambar, atau bahkan berita, sebagai bagian yang perlu hadil dalam pencitraan. Dengan demikian, kekuasaan juga adalah masalah persepsi.
Kembali lagi, seperti dikatakan Nietzche, bahwa hasrat berkuasa adalah penggerak kemajuan. Memang benar. Itupun jika menelisik bahwa ketika kekuasaan diperoleh, maka langkah berikutnya adalah melaksanakan dan melanggengkan kekuasaan. Di sinilah, para penguasa membutuhkan aksi nyata. Bagaimana?
Pemimpin Puisi
Ada individu dengan genggaman kekuasaan besar di tangan yang bertindak begitu produktif, mampu memuaskan dan menggiring pengikutnya mencapai tujuan-tujuan bersama. Tetapi ada juga penguasa yang gagal. Buku ini menyebutkan bahwa banyak kisi yang menjadikan pemimpin gagal ataupun berhasil. Salah satunya, dengan menyebut perlunya visi pemimpin dalam mengoperasikan kekuasaan.
Mengutip Richard Nixon, mantan Presiden AS, bahwa “pemimpin itu adalah puisi”, dan manager itu adalah prosa (lihat halaman 16). Di sini jelas, pemimpin bergerak dalam konteks imajinasi, menggerakan emosi, melakukan abstraksi, dan bermain dengan gagasan-gagasan visioner. Sementara manajer adalah bekerja karena adanya job description yang jelas. Pemimpin mengejar target yang akan datang, sementara manajer mengejar target hari ini. Dunia memiliki contoh penting, tentang penguasa yang maha besar, tetapi lenyap seketika, karena tak memiliki visi. Salah satunya, seperti ditulis Jhon Man, adalah Jenghis Khan!
Terakhir, sebagai pengingat, banyak juga contoh kepemimpinan dan genggaman kekuasaan yang menakjubkan, di tangan beberapa gelintir manusia terpilih. Misalnya, Mahatma Gandhi, yang dengan sadar memilih jalan ahimsa (tanpa kekerasan) dan swadesi (melayani kebutuhn sendiri). Hal ini, persis diungkapkan oleh Agus Salim, bahwa memimpin adalah menderita, atau Leiden is Lijden. Selamat membaca.


Senin, 17 Maret 2014

membongkar Kegagalan CIA

Pengarang : Tim Wainer
Penerbit : Pt Gramedia Pustaka Utama
No : SPPT.0355-DP-0314
 

Descriptions

Mengapa negara adidaya, lembaga spionasenya tak punya daya? Mengapa agen-agen dinas rahasia "polisi dunia" sekaliber AS beroperasi serampangan? Inilah keprihatinan mendasar buku yang memenangi berbagai penghargaan ini. Kesimpulannya, sejarah operasi intelijen CIA yangtelah berusia 60 tahun justru memangsa bangsa Amerika Serikat sendiri.
Menggunakan langgam reportase jurnalistik yang memikat, Tim Weiner, wartawan peraih Hadiah Pulitzer, menunjukkan bukti-bukti meyakinkan tentang betapa memalukannya kerja CIA. Diantaranya, agen-agen CIA mengetahui Tembok Berlin, simbol totalitarianisme rezim komunis Eropa Timur, runtuh pada 1989 dari siaran televisi, bukan dari pasokan analisis mata-mata yang bekerja di bawah tanah; ambruknya WTC pada 11 September 2001 dengan telanjang memeragakan kepada dunia bahwa agen-agen CIA tak becus mengantisipasi serbuan teroris.
Dinas intelijen terbesar di dunia ini melakukan blunder paling parah dalam sejarah panjang spionase: berbohong tentang eksistensi se.

Kamis, 13 Maret 2014

Pengakuan Algojo 1965

Pengarang : Kurniawan Etal
Penerbit : Tempo Publishing
No : SPPT.0354-DP-0314
 
Senin malam ini, 30 September, saya berkesempatan menghadiri peluncuran bukuPengakuan Algojo 1965, di Komunitas Salihara, Pasar Minggu. Undangan saya terima dari mention sahabat kompasianer mas Odi Shalahuddin di wall Facebook saya. Judul buku yang cukup sensitif, membuat saya penasaran ingin menghadirinya, selain juga karena versi film dokumenter dengan tema serupa berjudul The Act of Killing sudah saya lihat pada penghujung tahun 2012 lalu, walau hanya bisa saya saksikan di laman YouTube.
Adalah Anwar Congo, yang pada satu waktu dengan gagah beraninya membuat sebuah pengakuan bahwa dialah pembunuh banyak nyawa dari orang-orang yang dilabeli sebagai PKI (Partai Komunis Indonesia). Apa yang kemudian diakui Anwar membuat seorang sineas Joshua Oppenheimer mendokumentasikan ke dalam satu film dokumenter. Film itu sendiri telah diputar di Festival Film Toronto, Kanada.
Buku ini adalah versi lengkap investigasi Tempo edisi khusus, yang cukup komprehensif dan sangat menarik untuk disimak, karena mencoba mengupas tragedi peristiwa 30 September dari sudut pandang yang sangat berbeda dari yang kita dengar selama ini, yakni menelisik dari perspektif para algojo pembantai PKI. Menjadi penyeimbang sejarah yang sangat mungkin penuh bias dan fakta yang tertutupi atas nama keutuhan negara. Menjadi untold story yang sebelumnya terkubur dan tak pernah benar-benar terungkap dengan terang-benderang.
Membaca lembar demi lembar buku ini, kita seolah dibawa suasana kengerian di masa silam. Sungguh membayangkan saja rasanya sudah membuat saya sangat bergidik. Bagai viral yang sambung-menyambung, satu per satu mereka yang mengaku telah menjadi algojo bagi melayangnya banyak nyawa saudara sebangsa itu mengungkapkan kisahnya. Semua ditulis lengkap dengan identitas foto dan keadaan mereka terkini. Dan kebanyakan dari mereka tidak merasa bersalah apalagi menyesal telah menjadi eksekutor banyak nyawa manusia. Walau ada juga seorang algojo yang dikisahkan menghabiskan masa tuanya dalam kondisi terpasung akibat gangguan jiwa, setelah masa pembantaian itu berlalu sekian tahun. Diperlihatkan dalam sebuah foto kakinya terantai di jeruji besi.
Peluncuran buku dihadiri oleh beberapa tokoh dari Tempo, diantaranya Direktur Tempo Inti Media, Bambang Harymurti, Arif Zulkifli, Redaktur Eskutif Tempo, juga Goenawan Mohammad, yang Catatan Pinggir 10-nya pun ikut di-launching di acara ini. Topik yang hangat dan mencekam membuat semua yang hadir hening mendengarkan beberapa bagian penting buku ini dibacakan oleh penyair Sitok Srengenge di gedung Teater Salihara. Usai peluncuran, acara dilanjutkan makan malam bersama di rooftop gedung Salihara. Berikut beberapa liputan fotonya,Pada akhirnya sejarah akan terus menuntun jalannya sendiri untuk sampai pada kebenaran sejati, tak siapa pun bisa menahannya. Terlepas dari bias faktanya, tragedi pembantaian manusia atas manusia secara membabi buta tidak bisa dibenarkan atas nama apa pun. Tulisan sahabat kompasianer Yusran Darmawan cukup menjadi bukti, betapa pembantaian ala algojo ini meninggalkan luka dan trauma yang panjang. Semoga tragedi ini tak perlu terulang, meski jangan juga dilupakan. Dan semoga bangsa ini belajar dari torehan sejarah kelamnya.

Rabu, 12 Maret 2014

Ketika Cinta Menyatukan segalanya

Pengarang : Jack Canfield,Mark Viktor Hansen
Penerbit : Pt Gramedia Pustaka Utama
No : SPPT.0353-DP-0314
 

" Chicken Soup Series: Chicken Soup for the Bride's Soul (Ketika Cinta Menyatukan Segalanya) "
dan kisah-kisah nyata menyentuh lainnyaSetiap gadis, pada umumnya, pasti memimpikan hari pernikahannya-mengenakan gaun indah bak ratu sehari, berjalan anggun sambil bergandengan tangan di bawah tatapan kagum para tamu, dikelilingi rangkaian bunga indah. Chicken Soup for the Bride's Soul ini akan menemani Anda-sang calon pengantin-mengungkapkan banyak hal, sejak pertama kali bertemu sang pangeran, persiapan dan kehebohan menjelang pernikahan hingga akhirnya tiba harinya ketika komitmen sehidup semati itu diikrarkan.Kisah-kisah nyata yang menawan serta memberikan inspirasi dan hiburan di dalam buku ini akan menunjukkan makna cinta dan pengabdian yang sebenarnya, yang akan memberikan ketenangan dan menghapuskan stres serta kekhawatiran yang menyertai persiapan menghadapi pernikahan. Para calon pengantin dan mereka yang sudah menikah bertahun-tahun pasti akan menyukai kisah-kisah tentang lamaran, gaun pengantin, kenangan di hari pernikahan, tahun-tahun pertama perkawinan, dan makna perkawinan itu sendiri.Ada kisah tentang gaun pengantin yang mempertemukan cinta abadi; kisah tentang cinta murni calon pengantin pria terhadap tunangannya yang tengah menunggu maut menjemput; kisah tentang keabadian cinta mempelai wanita terhadap ayahnya yang telah tiada; dan kisah cinta yang dipertautkan kembali setelah 25 tahun berpisah.

Selasa, 11 Maret 2014

Hak dan Kewajiban Bagi Pekerja Dan Pengusaha

Pengarang : Drs Danang Sunyoto SH,SE.MM
Penerbit : Pustaka Yustisia
No : SPPT.0352-DP-0314
 
Hak dan Kewajiban bagi Pekerja dan Pengusaha
Pada zaman penjajahan Belanda, yang dimaksudkan dengan buruh adalah pekerja kasar seperti kuli, tukang, tukang maupun mandor. Orang-orang ini disebut sebagai Blue Collar. Sedangkan yang melakukan pekerjaan di kantor pemerintah maupun swasta disebut sebgai karyawan/ pegawai (White Collar).
Pembedaan oleh pemerintah Belanda ini membawa konsekuensi pada perbedaan perlakuan dan hak-hak. Hal ini tidak terlepas dari upaya untuk memecah belah orang-orang pribumi. Setelah Indonesiai merdeka keadaan mulai berubah seiring dengan berbagai bentuk peraturan di bidang ketenagakerjaan.
Buku ini disusun berdasarkan kajian Undang-undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan peraturan perundang-undangan lainnya di bidang ketenagakerjaan yang berlaku atau yang pernah berlaku di Indonesia. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan rincian penjelasan secara historis legalitas. Dengan demikian, pemahaman atas materi buku ini diharapkan dapat diperoleh secara utuh dengan didukung oleh fakta-fakta hukum yang ada.



Senin, 10 Maret 2014

My Brief History

Pengarang : Stephen Hawking
Penerbit : Pt Gramedia Pustaka Utama
No : SPPT.0351-DP-0314

My Brief History menceritakan perjalanan luar biasa Stephen Hawking, dari masa kecilnya di London sesudah Perang Dunia II sampai menjadi pesohor yang terkenal di seluruh dunia. Dilengkapi foto-foto yang jarang terlihat, buku singkat, kocak, dan cerdas ini memperkenalkan pembaca dengan seorang Hawking yang belum tampak di buku-buku terdahulu: anak sekolah yang ingin tahu dan dijuluki “Einstein” oleh teman-temannya; orang yang suka bercanda dan pernah bertaruh dengan temannya perihal keberadaan lubang hitam; serta suami dan ayah muda yang berjuang untuk mendapat tempat di dunia akademia.

Dengan tulisannya yang khas, rendah hati dan penuh humor, Hawkingmengungkap mengenai tantangan yang dia hadapi sesudah didiagnosis mengidap penyakit neuron motor pada umur dua puluh satu. Dia menelusuri perkembangannya sebagai pemikir untuk menjelaskan bagaimana kemungkinan mati muda mendorong dia meraih banyak terobosan intelektual, dan berbicara mengenai kelahiran mahakaryanyaA Brief History of Time—salah satu buku terbesar pada abad keduapuluh.

Jernih, akrab, dan bijak, My Brief History membuka jendela bagi kita untuk menengok jagat raya pribadi Hawking.

Jumat, 07 Maret 2014

Yap thiam Hien (Pejuang lintas batas)

Pengarang : Josep P Widyatmadja
Penerbit : Libri
N0 : SPPT.0350-DP-0314


Di tengah lunglainya penegakan keadilan dan hak asasi manusia di Tanah Air, menghadirkan kembali karya dan pemikiran Yap Thiam Hien mengobarkan semangat menjadikan hukum sebagai panglima.
Konsistensi dan integritas Yap di bidang hukum dan keadilan semasa hidupnya tak pernah diragukan. Di luar itu, ada warisan Yap yang perlu dilestarikan dalam rangka mencapai kehidupan berbangsa yang lebih baik, yaitu sikapnya yang antidiskriminasi politik, rasial, dan agama.
Sikap antidiskriminasi Yap merupakan sebagian catatan dan pandangan sejumlah tokoh lintas bidang yang menyumbang tulisan dalam buku mengenang 100 tahun Yap Thiam Hien ini.
Tokoh kelahiran Aceh, 25 Mei 1913, ini disebut sebagai pejuang lintas batas karena mampu menerabas belenggu kesukuan, keagamaan, keindonesiaan, dan kemanusiaan. Pikiran dan perjuangannya terbukti mampu melintasi zaman penjajahan, zaman Demokrasi Terpimpin, dan zaman Orde Baru.
Pada zaman Demokrasi Terpimpin, Yap mengkritik secara tajam gagasan kembali pada UUD 1945. Frans Hendra Winarta menulis, Yap menjadi satu-satunya anggota Konstituante yang menentang UUD 1945, khususnya keberadaan Pasal 6 yang dinilainya diskriminatif soal jabatan presiden. Ketua Umum Persatuan Advokat Indonesia 2009-2013 ini menambahkan, Yap adalah salah satu di antara sedikit advokat yang tidak terkontaminasi komersialisme dan korupsi.
Memasuki era Orde Baru, kiprah Yap tak surut. Ia berhasil mematahkan semua argumentasi tuntutan jaksa saat membela Subandrio, mantan menteri luar negeri pada pemerintahan Soekarno. Meski tak secara langsung membebaskan Subandrio dari vonis hukuman mati, pembelaannya menjadi panutan bagi profesi kepengacaraan.
INFO BUKU
♦ Judul Buku : Yap Thiam Hien, Pejuang Lintas Batas 
♦ Penyunting : Josef P Widyatmadja
♦ Penerbit : Libri, 2013 
♦ Tebal : xvi+318 halaman 
♦ ISBN : 978-602-7688-33-9
Konsistensinya menegakkan keadilan serta melawan diskriminasi semata dilandasi kasih dan keimanannya sebagai seorang Kristiani. Iman dan kasih itu pula yang memengaruhi seluruh karier dan kehidupannya. Kesan itu disimpulkan Martino Sardi, staf pengajar Universitas Islam Negeri Sunan Kali Jaga, Yogyakarta, berdasarkan penelusuran tulisan dan riwayat hidup Yap.
Penulis lain, RD Benny Susetyo, menilai spiritualitas dalam diri Yap bersifat universal karena tak melihat kekristenan secara sempit, tetapi secara keindonesiaan. Yap selalu berusaha menjadikan hidupnya berarti dengan berbakti kepada sesama, tanpa memandang SARA.
Momentum peringatan 100 tahun Yap Thiam Hien ini diharapkan bisa lebih menguatkan tekad menuju kehidupan berbangsa yang lebih baik. Zuly Qodir, aktivis pluralisme dan sosiolog, mengajak untuk menengok sejenak perjuangan Yap dalam menegakkan nilai-nilai luhur dan beradab.
Agama harus dihadirkan untuk membela yang terbelakang serta yang terdiskriminasi dari tirani politik, ekonomi, dan kultur. Maria Ulfah Anshor, aktivis dan Ketua Umum Fatayat Nahdlatul Ulama, menuturkan, wacana Yap Thiam Hien ini diharapkan mampu merajut kembali hubungan yang baik dan harmonis antargolongan, antarsuku, ataupun antarumat beragama di Indonesia. (TGH/Litbang Kompas)

Kamis, 06 Maret 2014

Water For Elephants(air susu gajah)

Pengarang Sara Gruen
Penerbit : Pt Garamedia Pustaka Utama
no : SPPT.0349-DP-0314



Aku tidak banyak bercerita tentang hari itu.

Sebetulnya aku tahu kenapa: aku tidak pernah memercayai diriku sendiri. Aku takut keceplosan. Aku tahu betapa pentingnya menjaga rahasianya, dan memang tetap kujaga rapat-rapat rahasia itu---selama sisa hidupnya, juga setelahnya.

Selama tujuh puluh tahun, aku tidak pernah menceritakannya pada seorang pun.


Kenangan itu masih lekat di benak Jacob Jankowski. Kenangan ketika takdir membawanya ikut rombongan kereta sirkus pada awal tahun 1930-an. Kenangan ketika hidupnya penuh dengan segala keajaiban kasih sayang, kepedihan, dan kemarahan.

Di sana Jacob bertemu dengan Marlena, bintang sirkus yang menikah dengan lelaki yang salah. Juga Rosie, gajah cantik yang dianggap bodoh oleh semua orang. Seperti takdir yang membawa Jacob naik kereta sirkus, takdir pula yang membentuk jalinan cinta antara Jacob, Marlena, dan Rosie, yang pada akhirnya menjadi harapan untuk bertahan hidup dalam rimba sirkus yang kejam.

Rabu, 05 Maret 2014

Einstein (kehidupan dan pengaruhnya bagi dunia)

Pengarang : Walter Isaacson
Penerbit : Mizan
No :SPPT.0348-DP-0314

Einstein : Kehidupan dan Pengaruhnya bagi Dunia

Bocah berusia lima tahun itu terus menggigil di ranjang tidurnya. Tapi bukan karena demam. Ia melihat jarum magnet, yang gerakannya seolah-olah dipengaruhi oleh kekuatan tersembunyi. Jarum itu membangkitkan rasa ingin tahu yang memotivasinya kelak, seumur hidupnya. Ayahnya memberi tahu bahwa benda menakjubkan itu bernama kompas …

Belasan bahkan puluhan tahun kemudian, Albert Einstein—lelaki kecil tadi—terus mengingat pertemuan pertamanya dengan kompas. Ketakjubannya akan kesetiaan jarum pada medan yang tak terlihat.

Kecerdasan Einstein memang melampaui zamannya. Masa muda Einstein penuh pemberontakan terhadap aturan. Ia bahkan menjadi panutan suci bagi anak-anak sekolah yang bermasalah di mana saja.

Tak hanya itu, di puncak karirnya, penolakan keras Einstein terhadap penggunaan senjata membuatnya begitu dicintai sekaligus dibenci. Ia bahkan menjuluki negara-negara pengibar perang sebagai “orang kaya yang berusaha mengusir kebosanan”.

Dalam biografi ini, Walter Isaacson tak hanya berhasil membedah pemikiran Einstein, tetapi juga menampilkan sisi “manusia” dari ikon jenius ini sebagai bagian dari masyarakat semesta.

Selasa, 04 Maret 2014

Long walk Nelson Mandela

Pengarang : Paharizal S.Sos.M.A
Penerbit : Narasi
PNo : SPPT.0347-DP-0314
Nelson Mandela adalah potret dari perjuangan sebuah asa. Ia, yang terlahir dan tumbuh di antara kaum sukunya, akhirnya tampil menjadi sosok pemimpin sekaligus pemersatu bagi bangsanya. Nelson Mandela menjadi saksi sekaligus actor penting yang menerangi lorong sejarah kelam politik apartheid. Buku ini bagai suatu mozaik dari perjalanan panjang seorang pejuang Afrika Selatan.
Bagian pertama buku ini dibuka dengan gambaran proses terbentuknya politik apartheid (diskriminasi warna kulit yang berkarakter rasisme) yang terjadi di Afrika Selatan; masa awal kehidupan Nelson Mandela; perkenalan untuk pertama kalinya tentang wacana penindasan berbasis rasis; serta bangkitnya kesadaran kritis dan semangat perlawanan Nelson Mandela
Bagian selanjutnya difokuskan pada aksi  perlawanan yang dilakukan oleh Nelson Mandela terhadap rezim politik apartheid, ketika dia melihat bahwa perlawanan yang efektif adalah perlawanan yang memanfaatkan organisasi sebagai “ senjata “.
Pada bagian akhir dipaparkan tentang “kemenangan” Nelson Mandela, yaitu dengan dicabutnya politik apartheid di Afrika Selatan. Juga dibahas tentang terpilihnya Nelson Mandela sebagai presiden kulit hitam pertama di Afrika Selatan; kiprahnya di dalam dan luar negeri ketika menjalani tanggung jawab sebagai seorang presiden ; kebijakan dan aksinya dalam mengampanyekan perdamaian dunia; hubungan dengan ketiga istrinya; hingga masa-masa ketika dia sakit parah dan mengalami masa-masa kritis karena penyakit radang paru-paru dideritanya.
Walaupun Nelson Mandela dalam keadaan sakit-sakitan, dia masih sangat peduli dan peka ketika mendengar atau melihat terjadinya ketidakadilan. Hidup Nelson Mandela benar-benar diabdikan untuk mendorong perdamaian, keadilan, dan kesetaraan bagi seluruh umat manusia tanpa memandang perbedaan.
Nelson Mandela telah menempuh jalan panjang untuk mewujudkan impiannya.

Anomali Ratifikasi Konvensi Buruh Migran

Pengarang ; Migrant Care
Penerbit : Migrant Care
No :  SPPT-0346-DP-0114

Ketika hukum Dijadikan Alat Pelanggaran HAM

Pengarang : Lbh Jakarta
Penerbit : Lbh Jakarta
No : SPPT.0345-DP-0114

Bantuan hukum Bagi Warga Miskin

Pengarang : Lbh Jakarta
Penerbit : Lbh Jakarta
No : SPPT.0344-DP-0114 

Memastikan RUU PPILN Mengadopsi Standar Ham Dan Perburuhan Internasional

Pengarang : Migrant Care
Penerbit : Migrant Care
No : SPPT.0343-DP-0114

Senin, 03 Februari 2014

Selusur kebijakan Minus Perlindumgan Buruh Migram Indonesia

Pengarang : Anis Hidayat,Wahyu Susilo & Mulyadi
Penerbit : Migrant Care
No : SPPT.0342-DP-0114
 
Migran Care sebagai lembaga swadaya masyarakat yang fokus pada isu buruh migran meluncurkan buku bertajuk Selusur Kebijakan (Minus) Perlindungan Buruh Migran Indonesia, pada 21 Mei 2013, di Jakarta.  Buku ini ditulis oleh tiga aktivis buruh Migran Care yakni; Anis Hidayah, Wahyu Susilo dan Mulyadi.  Buku ini mendokumentasikan berbagai kebijakan terkait dengan buruh dari zaman kolonial Belanda sampai dengan era reformasi yang mana produk legalnya adalah Undang-undang nomor 39 tahun 2004.
Dalam acara peluncuran  buku ini, Jurnalis Senior Kompas Maria Hartiningsing, Pakar Demografi LIPI Dr. Riwanto Tirtosudarmo dan aktivis HAM yang juga Direktur ELSAM Indriaswati Dyah Saptaningrum, diundang untuk memberikan catatan penting bagi buku ini.
“Kelebihan buku ini adalah mendokumentasi kebijakan resmi pemerintah” ungkap Dr. Riwanto Tirtosudarmo.  Dalam catatannya, Riwanto melihat bahwa isu buruh migran adalah isu yang penting karena menjadi simpul antara masalah lokal dengan masalah global.  Dia pun menilai bahwa ada usaha meng-komodifikasi buruh, artinya buruh hanya dipandang sebagai barang bukan manusia. Hal ini dapat dilihat dari pendekatan yang dilakukan oleh pemerintah dalam menyusun kebijakan, bukan melalui pendekatan berbasis kemanusiaan melainkan berbasis ekonomi. Untuk itu, Riwanto menyambut positif atas hadirnya buku ini.
Ditinjau dari sisi hukum, Indriaswati mengungkapkan bahwa melihat hukum tidak sekedar teks yang mati melainkan ada aspek sosial yang menyertainya. Kemudian dia menjabarkan bahwa sejak tahun 1964 tidak ada  undang-undang yang khusus mengatur tentang buruh migran. Berdasarkan pengamatannya, produk hukum yang ada hanya di taraf eksekutif, yakni melalui menteri tenaga kerja. Undang-undang nomor 39 tahun 2004 hanya membicarakan aktivitas ekonomi yang muncul dari buruh migran, “Namun ironis wajah buruh migran sendiri tidak ada… kalau subjeknya tidak pernah muncul bagaimana hak yang mana melekat pada subjek bisa muncul” ungkapnya.
Menurut Maria Hartiningsih, masalah TKI (Tenaga Kerja Indonesia) adalah masalah perspektif, maka dia tidak heran bahwa penempatan buruh migran mirip dengan perdagangan manusia. Maria sangat tergelitik ketika  mendengar pemerintah meng-klaim bahwa pengiriman TKI ke luar negeri menurunkan angka kemiskinan sebanyak 30 juta orang,”Padahal dibalik angka ada cerita” ungkapnya. Menurutnya bekerja adalah hak dasar  manusia, negara wajib menyediakan lapangan pekerjaan. Marlina pun berpendapat bahwa jika negara tidak bisa menyediakan lapangan pekerjaan di dalam negeri maka negara wajib memfasilitasi peluang kerja di luar negeri dan wajib pula memberikan perlindungan yang layak bagi warganya yang bekerja di luar negeri. Maria pun mengungkapkan bahwa buruh migran asal Indonesia paling banyak bekerja pada sektor domestik dan kebanyakan dari mereka adalah perempuan, “Seandainya buku ini ditulis berdasarkan perspektif feminis pasti analisanya lebih tajam” ungkap Maria sebagai rekomendasi atas buku ini.

Rabu, 29 Januari 2014

Kisah Moenadi (Atobiografi & Tulisan-Tulisannya)

Pengarang : Jafar Suryo Manggolo
Penerbit : Sadane
No : SPPT.0341-DP-0114

Moenadi (1)

(Bagian 1)
Jafar Suryomenggolo[1]

TOKOH KITA INI adalah “orang besar” pada zamannya. Namun, namanya cuma disebut selintas dalam buku peringatan “kehidupan perkeretaapian selama 25 tahun sedjak bangsa Indonesia merdeka”, pada bagian pendek soal gerakan buruh.[2]

Apa yang dikerjakannya dan segala soal yang berkaitan dengan itu pada masa-masa awal republik, tidak disinggung. Walau tidak dibuang sepenuhnya dari ingatan sejarah, perannya bagi bangsa muda Indonesia dibikin jadi sempit-terbatas dan terlihat sepele. Akibatnya, untuk masa selanjutnya, ia pelan-pelan dilupakan, dan dirasakan tidak ada gunanya lagi mencatat namanya dalam sejarah perjalanan kehidupan berbangsa – hingga terjungkirnya Soeharto dari kursi presiden. 

Lalu, siapakah tokoh kita ini? Apa yang menjadikan namanya perlu disebut (kembali) dalam sejarah Indonesia? Anak muda jaman sekarang mungkin mudah larut dalam kejemuan saat mencoba memahami kisah tokoh kita ini dalam konteks kekinian. Jadi, apa gunanya sebuah tulisan kisah hidupnya diterbitkan sebagai bahan bacaan anak muda – dalam jaman gombal sinetron cengeng dan teknologi wikipedia kini? Ini bukan soal ketercerabutan sejarah generasi muda. Bukan pula soal menggali penggalan sejarah kelam. Tapi sebagai langkah awal menyadari, bahwa kisahnya adalah referensi penting bagi kita dalam proses membangun nasion Indonesia yang adil.   



***

MOENADI MENULISKAN KISAH perjalanan hidupnya secara sederhana saja. Dimaksudkan sebagai bentuk cerita seorang ayah kepada anak-anaknya. Lembaran-lembaran susunan abjad yang menjadi kerangka tulisannya itu berisikan refleksi atas kehidupannya sebagai seorang pemuda, buruh, dan teknisi di dalam masyarakat Indonesia, pada kurun waktu 1920-an hingga awal 1960-an. Tulisannya itu berisikan pengalaman-pengalaman murni ketika masa mudanya (zaman penjajahan Belanda), berlanjut ke masa dunia kerja sebagai buruh kereta api (zaman penjajahan Jepang dan perang revolusi kemerdekaan) hingga pada masa pengabdiannya di Departemen Perburuhan (zaman demokrasi konstitusional dan demokrasi terpimpin ala Soekarno). 

Kisah perjalanan hidupnya itu merupakan rekaman memori bangsa yang berjuang untuk menjadi diri sendiri yang sejati.  Moenadi mengalami perubahan-perubahan sosial dalam periode-periode penting perjalanan bangsa. Moenadi dengan jujur dan tanpa banyak pretensi, menuangkan dengan gaya bahasa yang sederhana dan terkadang juga jenaka, perjalanan hidupnya selama masa-masa penuh gejolak itu. Kisah intim kehidupan keluarga dan beragam pengalaman kerjanya menjadi adonan utama dalam perjuangan perjalanan seorang anak bangsa.

Satu yang tidak diceritakannya adalah penggalan kehidupannya dalam organisasi buruh, Serikat Buruh Kereta Api (SBKA), yang ia bentuk bersama rekan-rekannya dan kemudian sempat ia pimpin.[3]  Sayangnya dalam sejarah resmi Orde Baru, SBKA diingat hanya sebagai “serikat buruh komunis” – tanpa ada telaah akademis sama sekali. Proses perjalanan SBKA sebagai sebuah organisasi direduksi menjadi ikon paranoia masyarakat akan “bahaya laten komunisme.” Demikianlah, Kata Pengantar ini dimaksudkan pula sebagai bahan awal dalam memberikan gambaran akan latar belakang pembentukan SBKA, dan perjalanannya menjadi organisasi serikat yang cukup besar dan kuat pada masanya itu, terutama pada saat dipimpin oleh Moenadi. Dengan gambaran ini diharapkan timbul pengertian yang jernih bahwa SBKA adalah contoh organisasi serikat buruh yang sungguh-sungguh memperjuangkan kepentingan anggotanya – dan ini dapat menjadi sumber inspirasi bagi organisasi serikat buruh masa kini. 

***

SBKA dibentuk dari kumpulan beberapa organisasi buruh kereta api. Pada bulan-bulan awal usai proklamasi kemerdekaan Agustus 1945, buruh kereta api adalah kelompok masyarakat yang secara sadar pertama kali untuk berkumpul dan membentuk organisasi. Organisasi awal itu disusun berdasarkan lokalitas stasiun tempat mereka bekerja. Buruh kereta api dengan langkah-langkah strategis mengambil alih stasiun-stasiun, bengkel-bengkel dan juga kantor pusat kereta api dari tangan kekuasaan militer Jepang – yang saat itu telah menyadari kekalahannya dari pasukan sekutu. Bermula dari kantor stasiun di Jakarta-kota, kemudian bengkel api Manggarai, pengambilalihan ini menyebar ke seluruh stasiun dan kantor kereta api di seluruh Jawa, dan dalam kurun waktu kurang dari dua bulan seluruh stasiun Kereta Api di pulau Jawa sudah berada dalam pengawasan dan penguasaan para buruh kereta api. Moenadi muda yang saat itu tinggal dan bekerja di Bandung, tidak hanya sekedar ikutan saja, tapi memimpin aksi pengambilalihan dan selanjutnya pengawasan stasiun dan kantor operasional pusat kereta api seluruh pulau Jawa – yang memang saat itu berada di Kota Bandung. 

Langkah tindakan berani buruh kereta api ini selanjutnya diikuti oleh beberapa buruh lainnya dalam mengambil alih alat-alat produksi utama dari tangan militer Jepang: buruh perkebunan gula mengambil alih kantor dan areal perkebunan gula, buruh minyak mengambil alih kantor-kantor pertambangan minyak. Seketika pula semua alat-alat produksi yang sudah direbut oleh para buruh itu, dideklarasikan sebagai “Milik Republik Indonesia” – sebagai bukti perjuangan keberpihakan para buruh pada Republik yang usianya baru beberapa bulan saja.

Para buruh selanjutnya mengatur dan mengawasi jalannya alat-alat produksi itu. Buruh kereta api sebagai pelopor utama, berdasarkan lokalitas stasiun tempat mereka bekerja, usai pengambilalihan, langsung mengadakan pertemuan umum. Adam Malik, yang pada masa itu “cuman” seorang pemuda pejuang yang menjadi saksi mata satu pertemuan umum di stasiun Jakarta-kota, dengan sangat menarik mencatat bahwa pertemuan itu memutuskan beberapa orang buruh sebagai pemimpin di antara para buruh lainnya (disebut sebagai “Dewan Pimpinan”), dan uniknya kemudian, diadakan pengambilan sumpah di hadapan publik.[4] Susunan yang terbentuk adalah model kepemimpinan primus-inter-pares. Di bawah kepemimpinan di antara sesama buruh, para buruh kereta api ini, buruh-buruh pribumi yang selama itu dianggap rendah dan tak punya dispilin, ternyata mampu mengoperasikan dan mengoordinasikan jalannya sistem transportasi modern. Semua dilakukan buruh kereta api tanpa komando ataupun di bawah instruksi opsir Belanda seperti masa penjajahan dulu. Dan, ini menjadi bukti kemandirian mereka sebagai bangsa yang merdeka dan sebagai kelas buruh yang progresif. Rasa kebangsaan dan solidaritas kerja memang tumbuh bersamaan.

Serikat Buruh dan Republik Indonesia. Buruh digambarkan secara simbolik bersebelahan dengan tentara yang menghunus bayonet, mempertahankan kemerdekaan dengan hanya bersenjatakan bambu runcing. Di latar sebelah kiri gambar kereta api sebagai simbol alat transportasi utama pada masa itu. Di sebelah kanan gambar bangunan pabrik (dengan cerobong asap) yang ditandai “Hak Milik Republik Indonesia”. Di bagian depan, gambar buruh yang berkumpul membentuk serikat, simbolisasi kongres serikat buruh.    Sumber: Buletin SOBSI 2, 13-15 (1955)
Serikat Buruh dan Republik Indonesia. Buruh digambarkan secara simbolik bersebelahan dengan tentara yang menghunus bayonet, mempertahankan kemerdekaan dengan hanya bersenjatakan bambu runcing. Di latar sebelah kiri gambar kereta api sebagai simbol alat transportasi utama pada masa itu. Di sebelah kanan gambar bangunan pabrik (dengan cerobong asap) yang ditandai “Hak Milik Republik Indonesia”. Di bagian depan, gambar buruh yang berkumpul membentuk serikat, simbolisasi kongres serikat buruh. Sumber: Buletin SOBSI 2, 13-15 (1955)

Selama bulan-bulan awal kemerdekaan itu, para buruh kereta api dengan tanpa imbalan gaji tetap, mampu mengerjakan pekerjaannya sebagai bentuk pelayanan pada masyarakat dan juga, perjuangan bagi Republik. Pengiriman tentara, pengangkutan bantuan beras, penyediaan transportasi bagi presiden dan wakilnya: semua dikerjakan oleh buruh kereta api. Dan, buruh kereta api sadar akan peran vital mereka. Setiap stasiun, kantor atau bengkel kereta api mempunyai dewan pimpinan masing-masing sebagai tempat para buruh kereta api mengatur kerja mereka. Kantor Pusat Bandung, tempat Moenadi bekerja dan menjadi pemimpin organisasinya, menjadi markas utama operasional dan koordinasi kerja dari berbagai dewan pimpinan ini. Mereka mampu melakukan pengaturan alokasi dengan sumber daya seadanya, dan utamanya: mengatur dirinya sendiri dalam kepemimpinan yang setara. Prinsipnya, egaliter dan independen. Karakter independen ini memang menjadi ciri utama banyak organisasi buruh pada masa itu. Para buruh perkebunan gula juga mampu mengatur sistem kerja dan membagi hasil kerja di antara mereka sendiri.[5]

Sayangnya, karakter independen organisasi buruh ini mulai dicurigai oleh pemerintah pusat. Republik muda yang masih goyah dan belum stabil pemerintahannya itu menghadapi tekanan kelompok oposisi – utamanya dari Persatuan Perjuangan pimpinan Tan Malaka, dalam sistem “coba-coba” demokrasi kabinet usulan Sjahrir. Pemerintah pusat dalam kabinet Sjahrir pertama ini (mulai resmi bekerja 14 November 1945) takut organisasi buruh yang tumbuh independen ini ditunggangi oleh kelompok oposisi untuk merongrong keabsahan pemerintahan, dengan misalnya mengadakan pemogokan-pemogokan. Karenanya, pemerintah pusat cukup bersikap hati-hati terhadap organisasi buruh untuk tetap memastikan dukungan buruh atas pemerintahan mereka dan menahan agar mereka tidak lari ke kelompok oposisi.

Selain itu, dari pemerintah pusat sendiri ada upaya untuk menguasai semua alat-alat produksi yang ada (utamanya di Pulau Jawa) dalam rangka pengaturan ekonomi. Penguasaan alat-alat produksi di tangan berbagai organisasi buruh (stasiun oleh buruh kereta api, perkebunan gula oleh buruh gula, tambang minyak oleh buruh minyak) dianggap tidak menguatkan struktur ekonomi negara yang direncanakan secara terpusat. Mesti diingat, kereta api adalah sarana transportasi andalan pada masa itu, sementara perkebunan gula adalah sumber pemasukan ekonomi utama bagi negara, di samping pertambangan minyak yang baru dimulai. Jadi, pemerintah pusat berupaya betul untuk secara langsung mampu mengatur alat-alat produksi yang dianggap vital itu dalam genggaman tangannya. Buruh dianggap “kurang mampu” mengatur alat-alat produksi tersebut, selain juga ada semacam ketakutan bahwa buruh akan semakin kuat dan berada di luar kontrol pengawasan pemerintah. 

Oleh karena itu, mulai Januari 1946 pemerintah pusat menyiapkan langkah-langkah taktis untuk menguasai semua alat-alat produksi itu. Oleh pemerintah pusat, penguasaan dan pengaturan oleh buruh dipandang sebagai bentuk “sindikalisme ekonomi”[6] yang membahayakan kepentingan republik. Pemerintah pusat mulai menurunkan orang-orangnya untuk menguasai stasiun, perkebunan gula dan pertambangan minyak di Jawa. Di perkeretaapian, pemerintah pusat membentuk Djawatan Kereta Api (DKA), yang diberi kewenangan penuh untuk mengatur operasional kereta api. Ir. Djuanda, kawan dekat Sjahrir dan Soekarno, diangkat untuk memimpin badan baru itu – padahal kurang tahu soal perkeretaapian. Pemerintah pusat juga membentuk organisasi buruh kereta api secara terpusat yang diberi nama “Serikat Sekerdja Kereta Api,” setelah membubarkan dan tidak mengakui keberadaan Dewan Pimpinan. 

Menyadari kerja dan organisasi independen Dewan Pimpinan mereka tergerus oleh kebijakan taktis pemerintah pusat, para buruh kereta api merasa disudutkan dalam kerangka bikinan DKA. Dalam situasi ini, buruh kereta api kemudian mencoba mengumpulkan dan menyelamatkan sisa-sisa independensi yang telah mereka upayakan dan sempat nikmati di bulan-bulan awal kemerdekaan. Di antara berbagai organisasi buruh kereta api yang tersebar di seluruh pelosok Jawa, kontak intensif dibangun, komunikasi antarorganisasi ditingkatkan, dan beberapa pertemuan kecil disusul. Moenadi menjadi mata rantai utama dalam rencana awal ini, menghubungkan kantor Bandung dengan rekan-rekannya di Surabaya. Sebagi hasilnya, kongres buruh kereta api disepakati untuk diadakan selekasnya, di Kota Solo. Kongres dimulai pada Selasa (pahing), 12 Maret – hari yang sama kabinet Sjahrir kedua mulai resmi bekerja, setelah sebelumnya “dipaksa” oleh kelompok oposisi Persatuan Perjuangan untuk meletakkan jabatan. Ya, buruh kereta api cukup pandai memanfaatkan waktu situasi politik ini. 

Dalam kongres tiga hari itu, buruh kereta api langsung memutuskan hal-hal pokok yang berkenaan dengan penghidupan mereka dan kelangsungan organisasi independen bentukan mereka sendiri. Mereka tidak segan mengajukan tuntutan ke pemerintah pusat yang baru saja terbentuk – dalam susunan kabinet baru itu, “pimpinan” mereka di DKA Ir. Djuanda telah ditunjuk sebagai Menteri Muda Perhubungan, suatu posisi yang baru dibentuk dengan kewenangan yang lebih luas (tak terbatas pada perkeretaapian saja!) untuk menguasai alat-alat transportasi dalam pengaturan pemerintah pusat. Hasil kongres pertama buruh kereta api seluruh Jawa ini menyaratkan agar pemerintah mempertimbangkan suara buruh dalam setiap kebijakannya, dan harus ada wakil buruh yang duduk dalam berbagai badan baru bentukan pemerintah, juga tidak sembarangan membubarkan Dewan Pimpinan yang terbentuk “berdasarkan kedaulatan rakyat buruh kereta api”.[7]  Tuntutan keras ini memaksa pemerintah pusat untuk betul-betul melihat ulang rangkaian sepak terjangnya atas independensi serikat buruh. 

Di lain sisi, buruh kereta api juga tidak serta merta lugu menunggu reaksi pemerintah pusat. Mereka menyusun kekuatan yang lebih dahsyat: membentuk kesatuan di antara berbagai organisasi buruh yang tersebar itu dalam bentuk serikat buruh. Resmi terbentuk di hari kedua kongres, 13 Maret 1946, serikat itu diberi nama “Serikat Buruh Kereta Api” (SBKA), dengan Moenadi terpilih sebagai ketua umumnya.

***

STRUKTUR KEPENGURUSAN SBKA sangatlah sederhana dan taktis-efisiensi. Ketua umum dan wakilnya dalam kerja hariannya dibantu oleh sekretaris dan bendahara (masing-masing posisi diisi oleh dua orang) dan lima orang anggota pengurus pusat. Pengurus pusat sendiri ditopang oleh apa yang disebut sebagai “Anggota Pengurus Besar (APB) tersiar” yang mewakili empat daerah operasional kerja kereta api di kantor pusat (Cisurupan), daerah Jawa Barat (di Purwokerto), daerah Jawa Tengah (di Purwodadi) dan daerah Jawa Timur (di Madiun).[8]

Jelas terlihat, kepengurusan SBKA tidak disusun secara hirarkis tapi berdasarkan prinsip fungsi koordinasi. Struktur kepengurusan ini memungkinkan pengurus pusat mendengar langsung keluhan-keluhan dan kepentingan-kepentingan buruh anggota yang perlu dibela dan diperjuangkan di tingkat basis. Ini jelas terekam dalam cukilan sejarah tentang tuntutan gaji.

Akhir Mei 1946, Menteri Keuangan, Soerahman Tjokroadisoerjo, mengeluarkan satu “makloemat” (semacam peraturan internal) yang isinya mengatur kenaikan gaji permulaan – hingga 45 persen, bagi para pegawai negeri. Semenjak dibentuknya DKA, para buruh kereta api dianggap sebagai pegawai negeri, dan karenanya segala peraturan pegawai-negeri diberlakukan di lingkungan perkeretaapian, termasuk pula soal gaji. Hanya saja, Makloemat Menteri Soerahman mengatur kenaikan gaji bagi para pegawai tingkat atas, sementara pegawai tingkat bawah tidak disebut.[9]Ketidakadilan ini jelas dirasakan para buruh kereta api, yang sebagian besar digolongkan dalam pegawai tingkat bawah. Suara kegelisahan mulai bergema, walau belum menjelma menjadi ketidakpuasan.

Cepat menangkap situasi ini, pengurus SBKA lekas bertindak: surat protes disusun dan dikirim kepada Menteri Soerahman, dengan ditandatangani oleh Moenadi sebagai ketua.[10] Surat menyatakan kegelisahan buruh tingkat bawah yang merasakan ketidakadilan atas kenaikan gaji yang hanya dinikmati buruh tingkat atas, dan menuntut agar “perubahan itu merata mengenai semua golongan”. Dasar pembenar yang dijadikan patokan tuntutan itu bahwa buruh tingkat bawah adalah “merekalah merupakan tulang punggung dalam tiap djawatan Negara”.

Surat protes dan argumen yang diajukannya, jelas membuktikan kuatnya simpul solidaritas SBKA dalam menyuarakan kepentingan anggota – sesuatu yang “lumrah” dikerjakan oleh organisasi buruh independen manapun, kapanpun.  Surat protes ini juga membuktikan bahwa SBKA, yang sepenuhnya mendukung perjuangan Republik, tetap berani mengungkapkan keberatannya atas pola kebijakan negara yang merugikan buruh – suatu hal yang “biasa” dalam menunjukkan kemandirian organisasi buruh dari campur-tangan negara. Yang luar biasa adalah, kepentingan ekonomis buruh anggota ini terus diperjuangkan lewat berbagai cara yang, dapat dikatakan, canggih dan kreatif, menembus sekat birokrasi pada jamannya. Tidak hanya terpaku dalam tempurung bikinan Djawatan Kereta Api, Moenadi bersama wakilnya, Kardan, mengajukan tuntutan ini bukan terbatas hanya dalam lingkungan kereta api saja, tapi mampu mengemasnya sebagai suatu bentuk ketidakadilan yang dirasakan oleh semua buruh pegawai negeri lainnya. Karenanya, mereka berhasil menggalang suara bulat bersama beberapa pemimpin serikat buruh lainnya untuk secara bersama-sama mendesakkan tuntutan kenaikan gaji bagi buruh kelompok bawah ini, ke dalam konferensi Kementerian Sosial yang diadakan pada 27-29 Juli 1946. Menteri Sosial didesak untuk menjalankan fungsi perlindungan sosial bagi buruh sehingga upah yang diterima buruh “harus cukup untuk menjamin penghidupan keluarga” dan “perbandingan/ imbangan upah pokok bagi buruh yang terendah dengan buruh yang tertinggi adalah 1:5”. Ini bukan sekedar tuntutan membabi-buta yang berlebihan, tapi didasarkan pertimbangan bahwa keadilan sosial yang dicita-citakan masyarakat juga terbuka untuk dinikmati oleh buruh tingkat bawah dengan adanya sistem pengupahan yang adil. Selain itu, juga dituntut agar upah “tidak hanya terdiri dari mata uang, tetapi juga sebagian terdiri dari barang (in natura),” sebagai langkah taktis menyiasati kurangnya bahan pangan dan juga, naiknya harga-harga kebutuhan pokok selama masa genting perang kemerdekaan itu.  

Apa yang SBKA perjuangkan memang sepenuhnya didasarkan atas perlindungan bagi buruh anggota. Persoalan kenaikan gaji ini menjadi titik-tolak kegiatan awal SBKA, yang menjadi pola utama bagi model perjuangan SBKA membela kepentingan ekonomi buruh anggota, walau mesti berhadapan dengan kekuasaan negara. Sampai akhir 1946, persoalan upah ini tetap menjadi perjuangan utama SBKA – tapi Moenadi kemudian menghilang di balik layar.  Sekitar 5 minggu setelah konferensi Kementerian Sosial itu, dalam rapat pengurus SBKA pada 7-8 September 1946 Moenadi meletakkan jabatannya sebagai ketua, dan selanjutnya tercatat sebagai anggota pengurus.  Ia digantikan oleh Kardan. Dari lembaran catatan perjalanan kehidupannya ini bisa kita baca, pengunduran dirinya itu disebabkan masalah kesehatan yang dideritanya.[11]
***