"kami pekerja, suka membaca"

Senin, 29 Oktober 2012

Sumatera Tempo Doeloe ( Dari Marco polo sampai Tan malaka )

Pengarang : Antony Reit
Penerbit ; Komunitas bambu
No : SPPT.0226-DP-0409








Sumatera Tempo Doeloe: Dari Marco Polo Sampai Tan Malaka
Penulis: Anthony Reid
Penerbit: Komunitas Bambu, Jakarta, xxiii+423 halaman

Sumatera merupakan sebuah pulau dengan seribu satu cerita. Dari kekayaan alam yang melimpah, tempat yang strategis bagi jalur pelayaran dunia, hingga keindahan panoramanya. Dulu, pulau ini juga dikenal dengan sebutan Suvarna-Dvipa alias Pulau Emas. Tidak mengherankan bila jejak-jejak peninggalan tertua dari India, Arab, dan Cina dapat ditemukan di pulau ini.

Sejarah keberadaan Sumatera tidak sekadar menyimpan cerita indah tentang Pulau Emas. Di balik itu, tersurat pula sejarah berdarah tentang penaklukan, pertikaian internal, raja yang lalim, pemberontakan, judi, hingga kebengisan masyarakat atas dasar kepercayaan mistis. Fragmen cerita dari sisi yang berbeda itulah yang diungkap Anthony Reid dalam buku yang aslinya berjudul Witnesses to Sumatra: A Travellers' Anthology ini.

Dalam buku ini, Anthony berusaha mengumpulkan bahan dari berbagai catatan serta dokumen perjalanan beberapa pengelana yang pernah menjejakkan kaki di Sumatera. Hasilnya cukup mencengangkan. Tengok saja catatan perjalanan Marco Polo yang menginjakan kaki di tanah Sumatera pada 1290-an.

Dalam catatannya, Marco Polo mengungkapkan, orang Sumatera Utara adalah suku pemakan manusia, kanibal. "Saya berani bersumpah, mereka memakan daging manusia dan jenis daging-daging lain, baik bersih maupun kotor... mereka bahkan menyantap semua sumsum dalam tulang orang itu," tulis dia, seperti dikutip Reid.

Marco Polo bukan satu-satunya orang yang mengungkapkan ihwal kanibalisme itu. Pun demikian dengan Francois Martin, seorang pedagang asal Prancis pada 1602. Ia mengungkapkan bahwa orang-orang Pidie, Aceh, juga merupakan suku yang suka memakan daging manusia. "Mereka memakan dagingnya dengan lada dan lebih suka memakan orang kulit hitam daripada orang putih," tulis dia.

Cerita dalam buku ini bukan saja sebatas kanibalisme. Kisah raja yang lalim juga menghiasi sisi kelam pulau paling barat Indonesia ini. Itu terlihat dari catatan perjalanan navigator asal Inggris, John Davis (1955). Raja Aceh, Sultan Alau'ddin Ri'ayat Syah al-Mukammil, terekam sebagai sosk seperti itu. Menurut Davis, sang sultan tidak segan-segan membunuh rakyatnya yang tidak taat pada hukum yang ia buat.

Sultan Alau'din tidak akan membuat para penentangnya mati dengan cepat. Hukuman yang ia jatuhkan adalah memotong tangan dan kaki mereka, lalu membuang mereka ke Pulau Polowey (Pulau We). Bila ia menjatuhkan hukuman mati, caranya dengan melemparkan mereka ke sekumpulan gajah. Sosok Sultan Alau'din juga digambarkan layaknya Bacchus, dewa yang gemar pesta-pora dalam mitos Romawi.

Buku ini terkesan memojokkan keberadaan Sumatera, dengan cerita yang cenderung mendiskreditkan. Dan, Reid menyadari betul hal ini. Ia mengungkapkan bahwa kumpulan catatan dalam buku ini merupakan wujud keingintahuan orang Barat yang terkadang tidak simpatik terhadap masyarakat yang membentuk Sumatera. Karena itulah, ia mengakui, buku ini bukanlah catatan tentang Sumatera yang terobservasi secara koheren.

Hal senada diungkapkan Dewi Anggraeni, penyunting buku ini. Ia menyarankan agar pembaca mengambil jarak antara Sumatera sebagai realitas dan Sumatera sebagai wacana yang dituliskan oleh para penulis Barat. "Sebab, kalau kita membaca buku ini, akan ada perasaan tidak enak. Karena ada banyak stereotipe yang diungkapkan secara gamblang. Hal ini dapat memicu kontroversi," katanya.

Basyrai Hamidy Harahap, sejarawan asal Sumatera, justru berpendapat sebaliknya. Untuk dapat memahami masyarakat Sumatera, pembaca disarankan tidak mengambil jarak yang cukup jauh. Ia menceritakan, semasa kecil, ia masih mendengar kabar adanya pembantaian yang mengatasnamakan suku. Jadi, ia merasa, tidak ada bedanya sikap orang Sumatera ketika ia kecil dengan sikap orang Sumatera berabad-abad silam.

Terlepas dari kontroversi cerita tentang Sumatera itu, buku ini tetap menyajikan sesuatu yang layak dibaca. Dengan alur dan penggunaan bahasa yang enak dibaca, Reid berhasil merangkai catatan-catatan lepas para pengelana itu menjadi sebuah cerita yang utuh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar