Pengarang : Antony Reit
Penerbit ; Komunitas bambu
No : SPPT.0226-DP-0409
Sumatera Tempo Doeloe: Dari Marco Polo Sampai Tan Malaka
Penulis: Anthony Reid
Penerbit: Komunitas Bambu, Jakarta, xxiii+423 halaman
Sumatera
merupakan sebuah pulau dengan seribu satu cerita. Dari kekayaan alam
yang melimpah, tempat yang strategis bagi jalur pelayaran dunia, hingga
keindahan panoramanya. Dulu, pulau ini juga dikenal dengan sebutan
Suvarna-Dvipa alias Pulau Emas. Tidak mengherankan bila jejak-jejak
peninggalan tertua dari India, Arab, dan Cina dapat ditemukan di pulau
ini.
Sejarah keberadaan Sumatera tidak sekadar menyimpan cerita
indah tentang Pulau Emas. Di balik itu, tersurat pula sejarah berdarah
tentang penaklukan, pertikaian internal, raja yang lalim, pemberontakan,
judi, hingga kebengisan masyarakat atas dasar kepercayaan mistis.
Fragmen cerita dari sisi yang berbeda itulah yang diungkap Anthony Reid
dalam buku yang aslinya berjudul Witnesses to Sumatra: A Travellers'
Anthology ini.
Dalam buku ini, Anthony berusaha mengumpulkan
bahan dari berbagai catatan serta dokumen perjalanan beberapa pengelana
yang pernah menjejakkan kaki di Sumatera. Hasilnya cukup mencengangkan.
Tengok saja catatan perjalanan Marco Polo yang menginjakan kaki di tanah
Sumatera pada 1290-an.
Dalam catatannya, Marco Polo
mengungkapkan, orang Sumatera Utara adalah suku pemakan manusia,
kanibal. "Saya berani bersumpah, mereka memakan daging manusia dan jenis
daging-daging lain, baik bersih maupun kotor... mereka bahkan menyantap
semua sumsum dalam tulang orang itu," tulis dia, seperti dikutip Reid.
Marco
Polo bukan satu-satunya orang yang mengungkapkan ihwal kanibalisme itu.
Pun demikian dengan Francois Martin, seorang pedagang asal Prancis pada
1602. Ia mengungkapkan bahwa orang-orang Pidie, Aceh, juga merupakan
suku yang suka memakan daging manusia. "Mereka memakan dagingnya dengan
lada dan lebih suka memakan orang kulit hitam daripada orang putih,"
tulis dia.
Cerita dalam buku ini bukan saja sebatas kanibalisme.
Kisah raja yang lalim juga menghiasi sisi kelam pulau paling barat
Indonesia ini. Itu terlihat dari catatan perjalanan navigator asal
Inggris, John Davis (1955). Raja Aceh, Sultan Alau'ddin Ri'ayat Syah
al-Mukammil, terekam sebagai sosk seperti itu. Menurut Davis, sang
sultan tidak segan-segan membunuh rakyatnya yang tidak taat pada hukum
yang ia buat.
Sultan Alau'din tidak akan membuat para
penentangnya mati dengan cepat. Hukuman yang ia jatuhkan adalah memotong
tangan dan kaki mereka, lalu membuang mereka ke Pulau Polowey (Pulau
We). Bila ia menjatuhkan hukuman mati, caranya dengan melemparkan mereka
ke sekumpulan gajah. Sosok Sultan Alau'din juga digambarkan layaknya
Bacchus, dewa yang gemar pesta-pora dalam mitos Romawi.
Buku ini
terkesan memojokkan keberadaan Sumatera, dengan cerita yang cenderung
mendiskreditkan. Dan, Reid menyadari betul hal ini. Ia mengungkapkan
bahwa kumpulan catatan dalam buku ini merupakan wujud keingintahuan
orang Barat yang terkadang tidak simpatik terhadap masyarakat yang
membentuk Sumatera. Karena itulah, ia mengakui, buku ini bukanlah
catatan tentang Sumatera yang terobservasi secara koheren.
Hal
senada diungkapkan Dewi Anggraeni, penyunting buku ini. Ia menyarankan
agar pembaca mengambil jarak antara Sumatera sebagai realitas dan
Sumatera sebagai wacana yang dituliskan oleh para penulis Barat. "Sebab,
kalau kita membaca buku ini, akan ada perasaan tidak enak. Karena ada
banyak stereotipe yang diungkapkan secara gamblang. Hal ini dapat memicu
kontroversi," katanya.
Basyrai Hamidy Harahap, sejarawan asal
Sumatera, justru berpendapat sebaliknya. Untuk dapat memahami masyarakat
Sumatera, pembaca disarankan tidak mengambil jarak yang cukup jauh. Ia
menceritakan, semasa kecil, ia masih mendengar kabar adanya pembantaian
yang mengatasnamakan suku. Jadi, ia merasa, tidak ada bedanya sikap
orang Sumatera ketika ia kecil dengan sikap orang Sumatera berabad-abad
silam.
Terlepas dari kontroversi cerita tentang Sumatera itu,
buku ini tetap menyajikan sesuatu yang layak dibaca. Dengan alur dan
penggunaan bahasa yang enak dibaca, Reid berhasil merangkai
catatan-catatan lepas para pengelana itu menjadi sebuah cerita yang
utuh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar