Pengarang : Rekson silaban
Penerbit : Romawi Press
No : SPPT.0223-DP-0409
Pada mulanya adalah sebuah proposisi dasar: pencapaian gerakan buruh
saat ini tidak sebesar kebebasannya. Serikat buruh di Indonesia sudah
menikmati kebebasan yang memadai.
Namun, pada saat yang sama perjuangan buruh belum berhasil
mendatangkan perubahan kualitatif yang berarti terhadap kepentingan
utama buruh. Proposisi ini tentu saja tak mau mengesampingkan fakta
bahwa masih ada pemberangusan serikat buruh di berbagai tempat.
Pemberangusan tak lagi dalam bentuk kebijakan negara yang sistematis
menumpulkan gerakan buruh seperti pada masa Orde Baru. Perlawanan
terhadap serikat buruh dilakukan secara parsial dengan modus beragam.
Tersua tiga parameter standar menilai apakah serikat buruh bermanfaat
kepada anggotanya: (1) bertambahkah jumlah perjanjian kerja bersama
(PKB) yang dibuat; (2) membaikkah upah dan kesejahteraan buruh, termasuk
jaminan sosialnya; dan (3) apakah serikat buruh berdaya memengaruhi
pemerintah dan institusi politik.
Menyangkut parameter pertama, dari data yang tersedia, ternyata
jumlah PKB dalam sepuluh tahun terakhir tak bertumbuh meski serikat
buruh memiliki kebebasan luas dibandingkan dengan masa sebelum
reformasi. Jumlah PKB 11.000, sama seperti masa Orde Baru. Jumlah
peraturan perusahaan pun tetap 44.000. Idealnya, PKB harus lebih banyak
dibandingkan dengan peraturan perusahaan.
PKB ada berarti serikat buruh telah memiliki anggota lebih dari 50
persen di perusahaan dan mampu berunding. Adapun peraturan perusahaan
dibuat majikan karena serikat buruh kecil atau tidak eksis.
Upah buruh dalam beberapa tahun terakhir meningkat ratarata 8-10
persen. Namun, kenaikan itu lebih rendah dari tingkat inflasi. Laporan
Bank Dunia Jakarta (Desember 2010) menyebutkan bahwa ada penurunan upah
minimum 2 persen dalam 10 tahun terakhir, setelah memperhitungkan total
kenaikan upah minimum dan total kenaikan inflasi.
Cakupan kepesertaan jaminan sosial juga tak bertumbuh signifikan.
Daya serikat buruh memengaruhi kebijakan publik sedikit membaik, tetapi
tak cukup optimal akibat fragmentasi gerakan buruh.
Adakah peluang?
Masih adakah peluang membuat gerakan buruh kuat? Atau, akankah
serikat buruh perlahan hilang ditelan sejarah sebagai akibat
ketakmampuan melakukan transformasi gerakan? Peluang masih ada bila saja
ada skenario baru yang berbeda dengan skenario yang ada saat ini. Lima
syarat untuk skenario baru ini.
Pertama, perlu pembersihan ”rumah serikat buruh”. Maksudnya, serikat
buruh Indonesia harus disesuaikan dengan serikat buruh universal yang
demokratis, independen, dan representatif. Itulah standar baku yang
ditetapkan wadah serikat buruh dunia (ITUC) sebagai dasar penerimaan
anggota afiliasi.
Demokratis berarti tata kelola organisasinya transparan, menghindari
pemusatan kekuasaan, dan menjalankan rotasi kepemimpinan. Ini perlu
sebab banyak serikat buruh yang tak mampu mengadakan rapat reguler,
konstitusi tak berfungsi, pemimpin tak pernah berganti dari dulu sampai
sekarang.
Independen berarti serikat buruh tidak dijadikan sebagai bagian
kepentingan partai politik, pemerintah, bisnis, agama, dan etnisitas
tertentu. Maka, serikat buruh harus mandiri secara finansial supaya
jangan tergoda memanfaatkan serikat untuk kepentingan pribadi aktivis
atau kepentingan partai politik.
Representatif berarti serikat buruh harus memiliki anggota yang
relatif memadai sehingga dialah, dalam kamus Organisasi Buruh Sedunia
(ILO), yang paling mewakili. Serikat buruh yang representatif pasti
punya anggota berjumlah besar, iuran yang cukup, dan legitimasi kuat
mewakili suara buruh.
Meski undang-undang memberi jaminan hukum bagi eksistensi serikat
buruh kecil, dengan wilayah kerja seluas Indonesia, tidaklah mungkin
serikat buruh kecil nasional mampu melayani kebutuhan anggota di seluruh
wilayah. Pada saatnya serikat buruh seperti ini akan hilang,
ditinggalkan konstituennya.
Kedua, perlu dibangun sebuah koalisi gerakan buruh yang kuat dan
diikat dengan ikrar bersama atau manifesto. Setelah rumah buruh ”bersih”
dengan menerapkan tiga prinsip di atas, serikat buruh yang sehaluan
perlu menyatukan diri dengan membangun koalisi besar.
Untuk apa? Karena serikat buruh sekarang porak-poranda akibat terus
terpecah. Hanya dengan menggabungkan dirilah, serikat buruh kuat dan
bertahan hidup. Agar kuat, koalisi harus merumuskan ikrar, program, dan
tujuan dalam sebuah dokumen resmi. Dan untuk mendapat pengakuan, koalisi
ini harus memiliki minimal sejuta anggota. Jumlah ini tak terlalu muluk
apabila mempertimbangkan 8 juta anggota serikat buruh saat ini. Dengan
jumlah besar, koalisi diperhitungkan mitra dan lawan.
Ketiga, adanya prinsip dan pilihan ideologis koalisi yang jelas.
Selanjutnya koalisi harus menerapkan pilihan ideologisnya sebagai alat
perjuangan buruh. Ia tidak akan jadi, misalnya, alat perjuangan politik,
kepentingan SARA, dan kesetaraan jender.
Keempat, meningkatkan kapasitas aktivis merumuskan kebijakan
alternatif. Salah satu kritik terbesar terhadap serikat buruh: ia
dianggap hanya mampu bereaksi, demonstrasi, tetapi tidak punya kapasitas
menawarkan pilihan lain.
Gerakan buruh akhirnya kelihatan pemarah, tidak berkompromi, keras
kepala, dan bodoh. Citra ini harus diubah dengan menaikkan kapasitas
buruh berunding dan lobi berdasarkan analisis atau riset sendiri. Sumber
daya dan dana untuk ini akan mudah diperoleh apabila ada koalisi.
Kelima, gerakan buruh sebagai gerakan sosial. Karena globalisasi
ekonomi menciptakan keterkaitan dengan aktor sipil lain, serikat buruh
harus kerja sama dengan lembaga masyarakat, seperti kelompok lingkungan
hidup, antikorupsi, dan jender.
Peta jalan baru
Lima syarat di atas adalah peta jalan baru yang direkomendasikan
untuk membuat gerakan buruh fungsional. Tidak saja untuk kebutuhan
buruh, tetapi juga untuk memperkuat pilar ekonomi nasional.
Pengalaman internasional menunjukkan kehadiran serikat buruh yang
kuat akan menurunkan disparitas ekonomi di suatu negara karena peran
uniknya melakukan distribusi ekonomi melalui mekanisme upah minimum,
PKB, dan pembagian keuntungan di perusahaan. Juga membantu perluasan
cakupan jaminan sosial, mengawal buruh tak dieksploitasi, menyuarakan
kepentingan kelompok marjinal (migran, buruh informal, PRT, dan buruh
harian lepas).
Selama ini suara serikat buruh sering diabaikan karena dinilai bukan
suara kolektif sehingga tak bisa maksimal mengatasi problem yang
merugikan buruh: maraknya pelanggaran praktik tenaga lepas, buruh
kontrak, kepastian dan penegakan aturan hukum, hingga pada
ketidaksungguhan pemerintah menyelesaikan pemiskinan buruh Indonesia.
Serikat buruh yang sudah kuat dan memiliki jutaan anggota yang harus
dijamin kesejahteraannya tidak akan pernah menghambat perekonomian
nasional dan investasi, juga tak akan memicu instabilitas politik. (Rekson Silaban – Presiden KSBSI)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar