"kami pekerja, suka membaca"

Selasa, 28 Januari 2014

Memetakan Gerakan Buruh

Pengarang : Syarif Aripin,Fahmi Penimbnag,Abduh Mukafir
Penerbit : Kepik
No : SPPT.0341-DP-0114
 

Memetakan Gerakan Buruh:

Antologi Tulisan Mengenang Fauzi Abdullah

Keterbukaan politik dan peluang pengorganisasian di era Reformasi memberikan harapan bagi munculnya serikat buruh yang dapat menopang jalannya demokrasi di Indonesia. Berbeda dengan zaman Soeharto, kini, serikat buruh dapat didirikan dengan bebas dan kaum buruh dapat mengeskpresikan ketidakpuasannya. Aksi-aksi protes terus bermunculan di berbagai daerah dengan metode dan sasaran yang beragam, seperti tampak dalam peringatan Hari Buruh Sedunia dan momen kenaikan upah minimum.
Memasuki era kebebasan berserikat, hingga 2010, jumlah serikat buruh di tingkat nasional mencapai empat konfederasi, 112 federasi, dan lebih dari sebelas ribu serikat buruh tingkat pabrik, dengan tiga tipologi sederhana: Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI), eks-SPSI, dan non-SPSI. Namun, mengingat lemahnya mekanisme verifikasi oleh Dinas Ketenagakerjaan, maka angka yang menunjukkan keanggotaan serikat buruh berikut turunannya seperti tingkat kerapatan serikat, adalah angka yang sulit untuk dapat dipercaya.[1]
Di sisi lain, walaupun jumlah serikat buruh terus bertambah, namun kerja-kerja pengorganisasian serikat buruh masih harus tetap diperiksa lebih lanjut. Setidaknya ketika kita merujuk pada data di antara pekerja di sektor formal yang berjumlah 30 juta, hanya 3,3 juta orang yang bergabung menjadi anggota serikat buruh (itupun relatif bersifat klaim serikat, karena lemahnya verifikasi Disnaker). Artinya, tingkat kerapatan atau penetrasi serikat buruh (union density) ke dalam angkatan kerja masih sangat rendah, hanya sekitar 12 persen dari pekerja formal, atau kurang dari 3 persen dari total jumlah angkatan kerja. Dibandingkan dengan negara-negara lain di kawasan Asia Timur, tingkat kerapatan serikat buruh di Indonesia selalu terhitung lebih rendah, hanya lebih tinggi dibanding Thailand, tapi jauh lebih rendah dibandingkan Singapura, Taiwan, Malaysia, dan Filipina. (lihat Juliawan, 2009)
Selain itu, pasar tenaga kerja fleksibel (labour market flexibility-LMF) dalam wujud buruh kontrak dan outsourcing, sebagai kebijakan resmi pemerintah Indonesia, telah memukul bagian-bagian utama kekuatan serikat buruh. Dimana hantaman utama LMF adalah berkurangnya jumlah anggota serikat dengan signifikan dan menurunnya solidaritas antarburuh dan antarorganisasi buruh. Beberapa penelitian memperlihatkan bahwa rezim pasar kerja fleksibel telah mengurangi lebih dari 30 persen keanggotaan serikat buruh. Jumlah tersebut diperkirakan akan terus meningkat dengan mempertimbangkan bahwa kebijakan ini semakin dikukuhkan sementara kekuatan serikat buruh masih terus stagnan, dan belum menemukan respon yang lebih strategis untuk menghadapi rezim pasar kerja fleksibel.
Buku, “Memetakan Gerakan Buruh: Antologi Tulisan Mengenang Fauzi Abdullah” membantu kita untuk melihat kembali dinamika perjalanan gerakan buruh di Indonesia, khususnya pada periode 2002-2009, yang merupakan fase awal reorganisasi gerakan buruh di Indonesia pasca-Orde Baru. Buku ini sendiri merupakan kumpulan artikel yang sebelumnya dimuat di Jurnal Kajian Perburuhan Sedane, sejak 2002 hingga 2009. Buku ini mencoba memetakan bagaimana hambatan dan tantangan yang dihadapi oleh serikat buruh pasca-Orde Baru yang melakukan penghancuran kapasitas politik serikat buruh sampai ke akar-akarnya, dan melakukan penataan ulang gerakan buruh di Indonesia salahsatunya dengan menerapkan kebijakan serikat buruh tunggal dan dimasukannya militer ke dalam serikat buruh, sehingga melahirkan mekanisme kontrol dan penaklukan kelas buruh yang berhasil menyingkirkan buruh dari proses penyelesaian masalah dengan cara-cara yang represif.
Antologi tulisan perburuhan ini sendiri dibagi ke dalam tiga tema pembahasan. Pertama, bagaimana keadaan buruh dan serikat buruh dalam konteks ekonomi-politik regional Asia. Di kawasan Asia Tenggara diwakili oleh Indonesia, Thailand, Filipina, dan Malaysia. Adapun konteks regional Asia dilihat melalui dampak industrialisasi di Cina terhadap persoalan perburuhan di dalam negerinya. Kemudian, dibahas pula potret ringkas mengenai gerakan buruh di Korea yang konon dinilai paling progresif.
Kedua, mengenai dinamika gerakan buruh di Indonesia, yang antara lain diwarnai oleh keberadaan serikat buruh yang memasukkan agenda-agenda politik sebagai bagian integral dari kerja-kerja keserikatburuhan, sampai kepada serikat buruh yang masih mempertahankan watak ekonomistiknya serta menganggap agenda-agenda politik sebagai bagian yang terpisah dari kerja-kerja keserikatburuhan itu sendiri dalam rangka menciptakan suatu pakta sosial berbasis gerakan buruh. Selain itu, bagian ini juga membahas dinamika perubahan hukum perburuhan di Indonesia sebagai sebuah gambaran tarik-ulur kepentingan antara gerakan buruh, negara, dan pemodal. Kemudian, bagaimana dinamika pertarungan gerakan buruh dan masuknya investasi ke daerah-daerah dalam ruang kontestasi politik lokal yang tercipta akibat kebijakan desentralisasi kekuasaan.
Ketiga, isu-isu demokrasi, konflik antar-serikat, dan kesejahteraan buruh. Salah satu warisan otoritarianisme Orde Baru adalah penghancuran tradisi perlawanan dan demokrasi di dalam serikat buruh. Hal ini merupakan tantangan yang perlu dijawab oleh serikat buruh untuk membangun demokrasi di dalam kehidupan sehari-hari serikat buruh dengan terus-menerus mengembangkan praktik organisasi yang demokratis: tidak lagi menempatkan anggota sebagai penonton, akan tetapi mengembalikan posisinya sebagai pemegang kedaulatan organisasi.
Di luar itu, dalam konteks yang lebih sempit: isinya. Salah satu kelemahan paling pokok dari buku ini adalah, kosongnya pembahasan mengenai kondisi buruh di sektor perkebunan. Tidak hanya di dalam buku ini, tapi di dalam delapan belas edisi Jurnal Sedane, sejak 2002-2009, tidak ada satupun tulisan mengenai buruh perkebunan. Tulisan tentang buruh perkebunan baru muncul di dalam Jurnal Sedane pada tahun 2011. Kondisi ini sebenarnya sudah pernah diingatkan oleh Fauzi Abdullah, jauh sebelumnya, bahwa analisis di dalam Jurnal Sedane terlampau manufaktur sentris. Terlepas dari berkembang pesatnya sektor industri manufaktur di Indonesia sejak 1979an, sektor perkebunan memiliki posisi yang terlampau penting untuk dilewatkan.
Di sisi lain, kekosongan bahasan dinamika buruh perkebunan memberikan catatan bahwa restrukturisasi gerakan buruh di Indonesia cenderung hanya terkonsentrasi pada sektor manufaktur yang bersifat hilir (atau sektor non-perkebunan). Sementara di sektor perkebunan, gerakan buruh di Indonesia memiliki satu persoalan mendasar yang membutuhkan analisis, yaitu relatif tidak terjadinya reorganisasi di tubuh serikat buruh sektor perkebunan, yang mengakibatkan gerakan buruh di sektor perkebunan terus mengalami stagnasi, di mana rezim serikat buruh tipe lama masih tetap mapan, dan nyaris tidak terpengaruh oleh gelombang restrukturisasi gerakan buruh di Indonesia, setidaknya melalui perubahan kebijakan negara yang menghasilkan kebebasan berserikat. Hal tersebut menunjukkan terjadinya kesenjangan antara dinamika gerakan buruh di sektor perkebunan dan sektor non-perkebunan, atau ada relasi yang putus antara serikat buruh yang tumbuh di sektor manufaktur dengan sektor perkebunan. (Abusurd Mufakhir & Syarif Arifin, LIPS)


[1] Meskipun peraturan tentang kebebasan berserikat sudah diundangkan sejak tahun 2000, peraturan tentang prosedur verifikasi keanggotan serikat buruh baru dibuat lima tahun sesudahnya, dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. 6/MEN/IV/2005. (Juliawan, 2009)





Tidak ada komentar:

Posting Komentar